Konsep ketuhanan al-Kindī
dibangun atas dasar metafisika. Hal ini yang membedakan dengan filosof Yunani,
Aristoteles. Dalam beberapa hal, doktrin-doktrin filosofisnya dan segi
peritilahan, al-Kindī mengadopsi dari Aristoteles, akan tetapi hal tersebut
tidak diambil secara penuh oleh al-Kindī, akan tetapi diadapsi dan disaring
sehingga hasil ijtihadnya berbeda dari sumber asalnya.
Maka, konsep-konsep yang
lainnya yang diturunkan dari konsep Tuhan akan hadir dalam bentuk berbeda pula.
Filsafat al-Kindī memiliki kekhasan sendiri, produk ijtihadnya akan membedakan
baik dengan Aristoteles maupun filosof muslim setelahnya. Bahkan filasafat
al-Kindī memiliki corak sendiri. Orientasi Filsafat, tentang Keesaan Tuhan,
teori penciptaan alam adalah diantara aspek yang berseberangan dengan filsafat
Yunani.
Meskipun begitu, pemikiran
al-Kindī yang dikatakan mirip dengan sistem rasionalitas Mu’tazilah mendapat
kritikan oleh para ulama’. Karyanya yang berjudul Risālah fi Hudūd al-Asyya’
yang berbicara eksistensi alam yang dianggap bersumber dari tradisi Yunani dan
adapsi Mu’tazilah ditentang kaum muslim. Walau begitu, beberapa pemikirannya tetap perlu diapresiasi
terutama yang memberi sumbangan kepada sains Islam, seperti teori optikanya
yang dirujuk oleh ilmuan Barat, Roger Bacon, yang diterjemahkan ke bahasa latin.
Secara khusus, tulisan ini mengkaji konsep ketuhanan menurut al-Kindī, sebelum
itu, akan dipaparkan terlebih dahulu latar belakang sosial-intelektual
al-Kindī.
1.
Latar Belakang Intelektual al-Kindī
Nama lengkap al-Kindī adalah
Abū Yūsuf Ya’qūb bin Ishāq Al-Kindī. Dilahirkan di kota Kufah pada tahun 800 M.
Ia berasal dari kalangan bangsawan dari Irak. Ia berasal dari suku Kindah,
hidup di Basra dan meninggal di Bagdad pada tahun 876 M. Ia merupakan seorang
tokoh besar dari bangsa Arab yang mempelajari filsafat Aristoteles. Al-Kini
mendapat julukan Filosof Arab. Filsafat Aristoteles telah mempengaruhi konsep
Al Kindi dalam berbagai doktrin pemikiran terutama di bidang, sains dan
psikologi. Beberapa karya filosof Yunani ia terjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Ia termasuk filosof Muslim
ensiklopedis. Selain filsafat, Al Kindī menulis banyak karya lain dalam
berbagai bidang; geometri, astronomi, astrologi, aritmatika, musik (yang
dibangunnya dari berbagai prinsip aritmatis), fisika, medis, psikologi,
meteorologi, dan politik. Ibn Abī Usaibi’ah (w.668 H) penulis Tabaqāt
al-Atibbā’ mencatat al-Kindi sebagai salah satu dari empat penerjemah mahir
pada era gerakan penerjemahan, selain Hunayn bin Ishāq, Tabit bin Qurrah dan
Umar bin Farkhan al-Tabari. Al-Kindī tidak hanya menerjemah karya Yunani, tapi
ia mengadapsi menjadai karya pemikirannya tersendiri. Ibn al-Nadzim dan al-Qafthi
menulis bahwa karya al-Kindī ada sekitar 238 karya risalah. Şa’id al-Andalusi
menyebut karya al-Kindī sekitar 50 buah. Akan tetapi sebagian besar karangannya
tidak sampai kepada kita. Karya-karya al-Kindī tidak hanya satu aspek, akan
tetapi meliputi filsafat, logika, musik, aritmatika. Karya-karya itu kebanyakan
karangan pendek.
Al-Kindī mengawali aktivitas
intelektualnya di dua kota besar Irak, Kufah dan Basrah. Ia menghafal
al-Qur’an, mempelajari tata bahasa Arab, sastra, matematika, fikih, ilmu kalam.
Ia tertarik dengan ilmu filsafat setelah pindah ke Baghdad. Karya-karya
filsafat Yunani ia kuasai setelah ia menguasai bahasa tersebut. Ia juga
memperbaiki karya terjemahan bahasa Arab seperti, Enneads-nya Plotinus oleh
al-Hims. Kegiatan filsafat Al-Kindi yang berpusat di sekitar gerakan
penerjemahan yang sudah dimulai dan didukung oleh khalifah Abbasiyah, yaitu al-Mu’taşim. Tampaknya sang Khalifah menjadi
mediator antara penerjemah dan
para ahli yang benar-benar melakukan menerjemahkan, banyak dari mereka adalah
orang Kristen Suriah atau dari Suriah.
Tulisannya sendiri bisa
dianggap sebagai sebuah perkenalan yang berkelanjutan dimaksudkan untuk
mengenalkan pemikiran Yunani untuk abad kesembilan kepada kaum muslim
kontemporer.
Intelektualitas al-Kindī
termasuk diakui tidak hanya dunia timur, akan tetapi Barat juga mengapresiasi
karyanya. Beberapa karangannya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh
Geran. Karya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin ini mempengaruhi
tradisi keilmuan Eropa pada abad pertengahan. Beberapa karya al-Kindī baik yang
ditulis sendiri atau oleh orang lain adalah; Kitab Kimiya’ al-‘Ithr, Kitab fi
Isti’māl al-‘Adad al-Hindī, Risālah fī al-Illah al-Failai al-Madd wa al-Fazr,
Kitāb al-Şu’aat, The Medical Formulary of Aqrabadhin of al-Kindi, al-Kindi’s
Metaphysics: a Translation fo Yaqub ibn Ishaq al-Kindi’s Treatise “On First
Philosophy”.
2.
Harmonisasi Filsafat dan Agama
Menurut al-Kindī filsafat
adalah ilmu pengetahuan tentang yang benar (knowledge of truth). Konsepsi
filsafat al-Kindī secara umum memusatkan pada penjelasan tentang metafisika dan
studi tentang kebenaran. Pencapaian kebenaran menurut al-Kindī adalah dengan
filsafat. Oleh sebab itu, ilmu filsafat menurut al-Kindī adalah ilmu yang
paling mulya. Ia mengatakan:”Sesunggunghnya ilmu manusia yang derajatnya paling
mulya adalah ilmu filosof. Dengan ilmu ini hakikat ilmu didefinisikan, dan
tujuan filosof memperlajari filsafat adalah mengetahui Al-Haq (Allah)”.
Sedangkan ilmu filsafat yang paling mulya dan paling tinggi derajatnya adalah
Filsafat yang Pertama (Falsafah al-‘Ūlā). Yakni ilmu tentang al-Haq al- Ūlā
yang menjadi Sebab segala sesuatu (‘illah kulli syai’) yang tidak lain adalah
Tuhan Allah SWT.
Pada asas pokok filsafatnya
ini, al-Kindī mempertemukan dengan agama. Dalam arti, bahwa tujuan filsafatnya
dan tujuan pokok agama adalah sama, yakni keduanya adalah ilmu dalam rangka
mencapai kepada yang benar. Kejelasan hubungan antar keduanya dapat dilihat
dari penjelasan al-Kindī, bahwa dasar antar filsafat dan agama memiliki
kesamaan. Kesamaan tersebut terdapat dalam empat hal; pertama, ilmu agama
merupakan bagian dari filsafat, kedua, wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan
kebenaran filsafat saling bersesuaian, ketiga, menurut ilmu, secara logika
diperintahkan dalam agama dan keempat, teologi adalah bagian dari filsafat dan
umat Islam wajib belajar teologi juga filsafat.
Bagi al-Kindī, filsafat Islam
didasarkan kepada al-Qur’ān. Al-Qur’ān memberikan pemecahan-pemecahan atas
masalah yang hakiki, misalnya tentang teori penciptaan, hari kebangkitan,
kiamat dsb. Hal tersebut menurut al-Kindī sangat meyakinkan, jelas dan
menyeluruh, sehingga al-Qur’ān telah mengungguli dalih-dalih para filsuf.
Dengan pemikirannya tersebut,
ilmu filsafat oleh al-Kindī ditempatkan sebagai bagian dari budaya Islam.
Meskipun dalam beberapa teoritik, ia mengadopasi dari Aristoteles Neo-Platonis,
akan tetapi gagasan-gagasannya dari mengintegrasikan filsafat dan agama itu
menghasilkan gagasan baru. Tampak sekali, ia berusahan mendamaikan antara
warisan Yunani yang tidak bertentangan dengan syari’at dengan agama Islam,
dengan asas-asas yang berdasarkan metafisik, bukan fisik belaka. Ia menggunakan
istilah-istilah filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dia
dikenal orang yang pertama menyususn kosa
kata Arab untuk istilah-istilah filsafat dan menetapkan definisi
berbagai kategori. Untuk tujuan ini dia menulis sebuah buku Risālah fī Hudūd
al-Asyyā wa Rusūmihā.
Karena asas yang dibangun di
atasnya adalah agama, maka ia menyatakan bahwa filsafat mengikuti jalur ahli
logika dan memandang bahwa agama sebagai sebuah ilmu rabbāniyah dan
memposisikannya di atas filafat. Ilmu ini diambil melalui jalur para Nabi.
Melalui penafsiran filosofis, agama menjadi selaras dengan filsafat. Pencapaian
kebenaran agama, disamping dengan wahyu, sebagai sumber pokok ilmu pengetahuan
juga mempergunakan akal. Sedangakan falsafah juga mempergunakan akal, bahkan
falsafah al-Kindī juga mendasarkan pada wahyu, hal itu dibuktikan dalam
beberapa konsep dan teorinya secara diametral bersebarangan dengan konsepsi
Aristoteles maupun Plato, seperti konsep keesaan Tuhan, alam, dan penciptaan
dari ketiadaan.
Jika konsep kunci (konsep
Tuhan) berseberangan dengan filsafat Aristoteles, berarti pandangan hidup
(worldview) – nya juga berbeda. Sebab, sebuah teori atau konsep lahir dari
worldview seseorang dan akan menjadi perbeda teori tersebut jika pandangannya
tentang Tuhan berbeda. Thomas F Wall mengatakan, percaya pada Tuhan
berimplikasi pada kepercayaan bahwa sumber pengetahuan dan moralitas adalah
Tuhan dan sebaliknya tidak percaya pada Tuhan akan menghasilkan kepercayaan
bahwa sumber pengetahuan adalah subyektifitas manusia.
Dalam konteks epistemologi
Islam, Tuhan adalah tema sentral. Ia adalah sumber kebenaran yang utama yang
mutlak. Maka, filsafat al-Kindī bisa dikatakan telah memasuki konteks ini.
Sebab, ia memberi penekanan pada konsep keilahian. Ia mengatakan filsafat yang
pertama (al-Falsafah al-Ūlā) adalah pengetahuan kebenaran pertama yang
merupakan penyebab dari semua kebenaran.
Sang Penyebab semua sebab
itulah adalah Tuhan. Dengan demikian, filsafat al-Kindī adalah membahas soal
Tuhan dan agama menjadi dasar filsafatnya. Dengan demikian kerja filsafat yang
dilakukan al-Kindī adalah mengharmonisasi antara fislafat dan agama, bahwa
antar keduanya tidak ada perbedaan yang kontras. Ia mengatakan “Falsafah yang
termulia dan tertinggi derajatnya adalah falsafah utama, yaitu ilmu tentang
Yang Benar Pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang benar”. Hal ini yang
membedakan dengan orientasi filafat Aristotele, bahwa filsafat adalah ilmu
tentang wujud karena yang wujud memiliki kebenaran. Berarti, orienatasi
filsafat al-Kindī adalah metafisik sedangan Aristotele adalah dibangun di atas
teori fisika.
3.
Pemikiran al-Kindī Tentang Konsep Tuhan
Tuhan menurut Al-Kindi adalah
pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu Esa, Azali, ia unik. Ia tidak
tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Ia hanyalah keEsaan belaka,
selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak. Pembahasan utama filasfatnya
adalah tentang konsep ketuhanan. Karena filsafat menurutnya, adalah menyelidiki
kebenaran, maka filafat pertamanya adalah pengetahuan tentang Allah. Allah
adalah Kebenaran Pertama (al-Haqq al-Awwal), Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wāhid)
dan penyebab semua kebenaran. Dengan demikian corak filsafat al-Kindī adalah
teistik, semua kajian tentang teori-teori kefilsafatannya mengandung pendekatan
yang teistik. Untuk itu, sebelum memulai kajian tentang teori filsafat, ia
membahas filsafat metafisika, dan konsep Tuhan.
Argumentasi kosmologis
tampaknya mendominasi pemikiran al-Kindī dalam menjelaskan ketuhanan. Bagi
al-Kindī, Allah adalah Penyebab segalanya dan penyebab kebenaran. Untuk
mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala kebenaran adalah sama saja dengan
mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari semua ini. Sebab dari segala sebab
itu adalah Allah. Sebab itu hanya satu, tidak mungkin banyak. Alam semesta
berjalan secara teratur atas dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga konsep
sentral dalam teologi Filsafat Pertamanya adalah tentang keesaan. Teologi
filsafat al-Kindī memiliki dua aspek utama; pertama, membuktikan harus ada yang
Satu yang Benar (the true one), yang merupakan penyebab dari segala sesuatu dan
mendiskusikan kebenaran the True One ini.
Pertama-tama al-Kindī
menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa menjadi penyebabnya sendiri. Ia
mengungkapkan, benda-benda di alam ini merupakan juz’iyyāt (particular). Kajian
filsafat ketuhannannya bukanlah pada juziyyāt yang jumlahnya tak terbatas itu,
akan tetapi yang paling penting dalam falsafahnya adalah hakikat dalam
partikular itu, yakni kulliyāt (universal). Tiap-tiap benda memiliki dua
hakikat, hakikat sebagai juz’i yang disebut al-aniyah dan hakikat kulli yang
disebut māhiyah yakni hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan
spesies.
Tuhan tidak mempunyai hakikat
dalam arti aniyah atau mahiyah, karena Ia bukan termasuk dalam benda-benda yang
ada dalam alam. Tuhan juga tidak mempunyai bentuk mahiyah karena Tuhan tidak
termasuk genus atau spesies. Tuhan hanya satu dan tidak ada yang srupa dengan
Tuhan. Ia Dzat yang unik, yang lain bisa mengandung arti banyak.
Al-Kindī berpendapat bahwa
setiap jenis predikat menunjukkan kesatuan dan keanekaragaman. Misalnya hewan,
adalah salah satu genus, tetapi terdiri dari sebuah keragaman spesies. Manusia
adalah satu spesies tetapi terdiri dari banyak individu dan manusia yang
tunggal adalah salah satu individu dari individu-individu yang lain terdiri
dari banyak bagian tubuh. Selanjutnya, ia beragurmen, keragaman itu memiliki hubungan
produk integral. Satu bagian, bukanlah disebabkan oleh stipan serangkaian
bagian yang lain. Berarti, harus ada penyebab luar untuk semua keanekaragaman
yang integral tersebut, penyebab itu satu, eksklusif dan sepenuhnya bebas dari
keragaman yang multi genus. Yang Satu itulah Yang Benar, yang tidak lain adalah
Tuhan.
Wujud Tuhan itu adalah
eksklusif, yang berbeda dengan yang lain. Sifat, Wujud, eksistensi dan
keberadaan sama sekali tidak bisa dipahami secara penuh oleh akal manusia.
Maka, baginya, untuk memahami itu semua, maka diturunkanlah Nabi, sebagai
utusan Allah, yang akan menjelaskan hal-hal yang tidak mampu disingkap oleh
akal manusia. Penjelasan Allah yang dibawa oleh Nabi melalui media yang
dinamakan wahyu. Al-Kindī, secara jelas meyakini bahwa rasio manusi memiliki
sisi kelemahan. Karena kelemahan itulah, tidak semua pengetahuan tidak bisa
ditangkap oleh akal. Maka untuk membantu pemahaman yang tidak bisa dijelaskan
akal maka, manusia perlu dibimbing oleh wahyu. Hanya saja, dalam aspek penjelasan
sifat-sifat Tuhan, al-Kindī masih terpengaruh oleh Mu’tazilah dan Aristoteles.
Hal itu misalnya, dilihat dari penjelasannya bahwa sifat-sifat Tuhan
diungkapkan dengan bentuk kalimat negatif, yaitu dengan ungkapan “tidak” atau
“bukan”. Bawa Tuhan itu tidak seperti manusia.
Tidak seperti Aristoteles,
al-Kindī mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta, bukan penggerak Pertama. Ia
tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Tuhan adalah Penyebab
dari segala sebab. Setelah melakukan sebab itu, Tuhan tetap melakukan sesuatu (‘Illah
al-Fā’ilah). Disini Tuhan tidak diposisikan seperti konsep Aristoteles, yang
mengatakan Tuhan tidak bergerak, sehingga ia tidak melakukan sesuatu apapun
setelah emanasi. Sehingga Tuhan dalam pemahaman Aristoteles tidak memahami yang
partikular. Berbeda dengan al-Kindī, menurutnya Tuhan tetap melakukan sesuatu.
Al-Kindī menyebut, Tuhan yang
seperti ini dinamakan agen yang benar. Dia menjadi penyebab dan bertindak
aktif. Tuhan adalah pelaku yang sebenarnya, sedangkan yang lain adalah pelaku
yang metaforis (agen kiasan). Karena, keduanya bertindak dan ditindaklanjuti.
Berkaitan dengan teori penciptakan, al-Kindī memiliki keunikan tersendiri. Ia
membagi alam menjadi dua, alam atas dan alam bahwah. Secara general, wujud alam
tersebut disebabkan oleh Penyebab Pertama, yaitu Tuhan.
Proses keberadaan antara
wujud alam atas dan alam bawah ini berbeda Alam atas yang terdiri dari wujud
spiritual, seperti akal, jiwa dan ruh. Sedangkan alam bahwah adalah teridiri
dari wujud badaniyah manusia, materi bentuk alam dunia dan lain sebagainya.
Alam atas sebagai wujud spiritual keberadaanya tidak melaui prosep penciptaan
(creation/khalq), akan tetapi ia ada melalui emanasi. Sedangkan alam bawah
keberadaannya melalui proses penciptaan.
Namun, analisis secara umum
al-Kindī tetap dikatakan bahwa Tuhan baginya adalah pencipta bukan penggerak
pertama. Konsep Tuhan sebagai penggerak pertama adalah konsep Aristoteles. Di
sini ia berseberangan dengan Aristoteles. Maka, bagi al-Kindī alam dunia
mempunyai permulaan, ia diciptakan dari ketiadaan. Alam menurut al-Kindī tidak
qadīm. Sedangkan menurut Aristoteles alam adalah qadīm. Yang beremanasi dari
sebab pertama adalah alam, dalam arti alam atas tadi.
Alam atas, pada mulanya
beremanasi dari Sebab Pertama, bergantung dan berkaitan dengan al-Haq. Tetapi
terpisah dari-Nya, karena alam terbatas dalam ruang dan waktu. Berarti, akal
atau jiwa setelah terpisah, benar-benar substansi, essensinya berbeda dengan
Tuhan. Setelah beremanasi, wujud intelek dan jiwa tadi memiliki genus,
spesises, diferensia, sifat dan aksiden. Maka setiap benda terdiri atas materi
dan bentuk, terbatas raung dan bergerak dalam waktu. Ia dzat yang terbatas,
meskipun benda tersebut adalah wujud dunia. Karena terbatas, ia tidak kekal.
Hanya Allah-lah yang kekal.
Sedang alam dalam konsep
Aristoteles, terbatas oleh ruang, tetapi tak terbatas oleh waktu. Sebab gerak
alam seabadi dengan Sang Penggerak Tak Tergerakkan (Unmomed Mover). Tuhan bagi
Aristoteles adalah Penggerak, akan tetapi Tak Tergerakkan, sebab baginya, jika
Tuhan bergerak, maka ia akan berbilang, karena setiap gerak akan melahirkan
sifat baru. Terbilangnya sifat menjadikan terbilangnya dzat.
Teori keabadian alam al-Kindī
juga berbeda dengan filosof muslim paripatetik setelahnya. Keabadian alam
ditolak oleh al-Kindī, karena alam ini diciptakan. Mengenai hal ini, ia
memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang
ketakterhinggaan secara matematik. Benda-benda fisik teridiri atas materi dan
bentuk, dan bergerak di dalam ruang dan waktu. Jadi, materi, bentuk, ruang dan
waktu merupakan unsur dari setiap fisik. Wujud, yang berkait erat dengan fisik,
waktu dan ruang adalah terbatas, karena mereka takkan ada, kecuali dalam keterbatasan.
Waktu bukanlah gerak,
melainkan bilangan pengukur gerak karena waktu tidak lain adalah yang dahulu
dan yang kemudian. Bilangan ada dua macam, yaitu tersendiri dan
berkesinambungan. Waktu bukanlah bilangan tersendiri, tetapi berkesinambungan.
Oleh sebab itu, waktu dapat ditentukan, yang berporoses dari dulu hingga kelak.
Dengan kata lain, waktu merupakan jumlah yang dahulu dan yang berikutnya, yang
berkesinambungan. Waktu adalah bagian dari pengetahuan tentang kuantitas.
Ruang, gerak dan waktu adalah kuantitas.
4.
Kesimpulan
Sebagaimana telah diketahui,
Al-Kindi banyak mempelajari filsafat Yunani, maka dalam pemikirannya banyak
kelihatan unsur-unsur filsafat Yunani itu. Oleh karena pemikiran Al-Kindi
banyak mendapat pengaruh filsafat Yunani, maka sebagian penulis berpendapat
bahwa al-Kindi mengambil alih seluruh filsafat Yunani.
Tetapi bila pemikirannya
dipelajari dengan seksama, tampak bahwa pada mulanya Al-Kindi mendapat pengaruh
pikiran filsafat Yunani, tetapi akhirnya ia mempunyai posisi sendiri. Yang
diadopsi oleh al-Kinī adalah peminjaman istilah seperti istilah Filsafat
Pertama oleh al-Kindī dalam karyanya dinamakan al-Falsafah al-‘Ūlā, sifat Tuhan
diungkapkan dengan ungkapan-ungkapan negative, serta pembagian alam atas dan
alam bawah, agen pertama sebagai Sebab Pertama adalah teori yang diambil dari
Neoplatinus. Kesimpulan genaralnya, yang dilakukan al-Kindi adalah adapsi,
buktinya ia memiliki gagasan-gagasan baru yang ternyata bersebrangan dengan
Aristoteles. Ternyata, sumber utama perbedaaan tersebut pada aspek yang sangat
elementer dalam filsafat, yakni konsep Tuhan. Filsafat Ketuhanan al-Kindi
berasas metafisika, sedangan filsafat Aristoteles di bangun di atas teori
fisika belaka. Ini berarti, konsep Tuhan al-Kindi berdasarkan wahyu sedangan
pandangan Aristoteles yang anti-metafisik menelurkan sekularisme.
Karena sumber perbedaan itu
dari hal yang paling mendasar, maka secara otomatis konsep-konsep lainnya juga
akan berbeda. Sebab, bagi al-Kindi, filsafat paling utama adalah mencari yang
benar, yakni konsep tentang ketuhanan. Dari beberapa pemikiran filsafat yang
ditekuni, akhirnya Al-Kindi berkesimpulan bahwa filsafat Ketuhananlah yang
mendapat derajat atau kedudukan yang paling tinggi dibandingkan dengan lainnya.
Ia memandang pembahasan mengenai Tuhan adalah sebagai bagian filsafat yang
paling tinggi kedudukannya.
0 komentar:
Posting Komentar