Deklarasi Bumbungon Saksi Toleransi

Lolada kecil sejak malam merengek pada sang ayah, sudah dua hari janji
Sadohe untuk mengantarnya kepada sang Kakek Mokodoludut, Manggopa Kilat
dan leluhur pencetus Kerajaan Bolaang Mongondow lainnya belum
terpenuhi. Loloda yang belia itu, sudah mendengar kehebatan dan
ketokohan kedua kakek buyut yang menduami Gunung Karamat Bumbungon,
hingga tak sabar ingin menemuinya.
Kala temaram berangsut digeser surya, langkah kecil itu seakan berlari
mengejar sang Ayah yang bergelar punu itu, menjejal bebatuan muntahan
Gunung Ambang yang berserakan dari Inobonto hingga Mobuya, menyusuri
hutan belantara Mongkonai dan berhenti di puncak Tumuyu kala surya mulai
mereda dijemput gulita. Di kejauhan itu, Gunung Karamat Bumbungon
tampak berdiri tegak di kelilingi air yang mulai menyusut.
Banyak hal yang diajarkan Sang Punu pada Lolada kecil dalam perjalanan
itu, mulai dari kisah menyatunya dua lempeng kecil hingga terbentuk
danau di dataran Kotamobagu dan Dumoga, hingga kedigdayaan Bogani yang
sangat piawai menaklukan musu di laut. Senandung kolintang mulai
kedengaran saat Punu dan Putra Mahkotanya ini menuju Gunung Karamat
tanpa pengawal, berada di dasar Tumuyu..
Perjalanan Punu dan calon penerusnya ini begitu mengasyikkan, selain
berburu dan menangkap ikan, Loloda sesekali memungut bebatuan indah yang
ingin dipersembahkannya sebagai hadiah pada sang kakek buyut yang
mendiami Bukit Bumbungon. Sadohe menuntun putranya menyusuri danau
dataran Dumoga yang tinggal berawa, sesekali tapak kecil itu tergelincir
namun dengan gesit bangkit lagi.
Mentari belum sejajar tubuh namun keduanya telah dekat di Gunung
Bumbungon, Manggopa Kilat yang kala itu sedang berada di kaki Gunung
Karamat terkejut melihat Punu Sadohe bersama si kecil. dengan eitual
penyambutan sang Punu, Manggopa Kilat langsung menjemput si Kecil dan
menggendongnya, menaiki bukit Bumbungon, semakin ke puncak suara
kolintang semakin terdengar merdunya.
Beberapa rumah panggung tertata rapi, dengan halaman luas berisi kolam
dan taman yang indah. di satu balai berdiri seorang tuah dengan jenggot
hampir menyentuh tanah, namun badannya masih lurus berotot. Dialah Sang
Mokodoludut, Punu Molantud yang kesohor itu, dengan tenang menyapa sang
cucu yang berterik kegirangan melihat sang Kakek, Lolada berlari dan
sekelebat melompat dipelukan Mokodoludut.
Di Balai itu, Sadohe menceritakan kondisi Kerajaan Bolmong sembari
menyampaikan salam Inde Dou dan Para Bogani. Lolda berbaring membantali
Paha Manggopa Kilat dan menyandarkan kakinya di Paha Mokodoludut, sambil
menyimak pembicaraan Sang ayah dan kedua Punu Molantud ini. Sadohe
mengisahkan kedatangan orang kulit putih berhidung mancung dan
keberhasilannya menaklukan perombak di perairan Inobonto kala Loloda
dilahirkan.
Sadohe juga membahas wilayah Kerajaan Bolmong yang kian meluas mulai
hingga Sangihe dan Batou Filipina, sehingga kwaula yang mendiami
Kerjaannya beragam ras, suku dan bahasa. Mokodoludut kemudiat
menyampaikan, bahwa disinilah kami mendeklarasikan kerjaan Bolaang
Mongondow, dengan kemajemukan para Bogani berikrar membentuk kerajaan,
dan di sini pulah akan disaksikan anak cucu kita di masa depan sebagai
saksi bahwa kerajaan bolmong telah majemuk sejak purba kala.
Cerita semalam itu, membuat Lolada kecil selalu terngiang akan
kedigdayaan leluhurnya di masa lampau, hingga menjadikannya modal dasar
membangun Kejayaan Kerajaan Bolaang Mongondow ke depan. Setelah beberapa
hari berada di Bukit Bumbungon, membuat Lolada tak ingin beranjak
seakan ingin menyerap semua kebijakan dan kebajikan dari kedua Kakek dan
mendiami Bumbungon beberapa saat.
Negosiasi dengan sang Ayah pun mulus, keinginan Loloda bersama kakek
buyutnya pun terkabul, Sadohe harus segera kembali ke Inobonto mengurus
kerajaan, apalagi kabar yang dihimpun Hulu Balang menyebutkan pesisir
kerajaan mulai diincar orang Eropa. Punu Sadohe pamit dan meninggalkan
Putra Mahkotanya didik para Proklamator Bolaang Mongondow demi Kejayaan
kerajaannya kelak.
Waktu pun berbicara, Loloda bertahta dengan kawula yang majemuk, mulai
dari suku, ras dan bahasa yang berbeda,semua diayomi tanpa pandang bulu,
diberikan hak yang sama. Kebajikan dan kebijakan yang diajarkan
Mokodoludut dan Manggopa Kilat dipraktekannya, Loloda melanjutkan
pemerintahan Paloko Kinalang warisan sang Ayah dengan jenius, hingga
pada akhirnya dilanjutkan Dinastu Manoppo saat berkuasa.
Kemajemukan Bolaang Mongondow telah kesohor, Mongondow, Sangihe, Talaud
dan Malesung (Minahasa) telah rukun dalam satu kerajaan, selain itu
Etnik Bantik yang setia berjuang dengan Para Bogani telah mendiami
pesisir bagian selatan, Dinasti Gobel dan kawulanya dari Gorontalo pun
menemui Dinasti Manopo untuk mendiami pesisir utara dan sebagian di
selatan Bolaang Mongondow.
Gelombang eksodus ke Bolaang Mongondow berlanjut hingga Indonesia
menjadi sebuah Negara berdaulat, dan di Dataran Dumoga setelah
terjadinya asimilasi antara kawula dari Kerajaan Bintauna dan Mongondow,
beberapa dekade kemudian telah didatangi masarakat dari tanah Minahasa.
di Era Orde Baru kebijakkan Presiden Soeharto untuk pemerataan
penduduk, telah menghadirkan transmigrasi Jawa dan bali.
Kini Dumoga telah menjelma menjadi Indonesia Mini, dengan keberagaman
suku, agama dan ras, telah melahirkan kearifan lokal mulai dari
pertanian, perkebunan, ekonomi dan sosial. Di Dataran Dumoga kehidupan
rukun dan damai terasa begitu kental, begitu kuat sehingga tak bisa
dipisahkan. Orang Jawa, Bali, Sumatera, papua, Bugis, Makassar,
Minahasa, Sangihe, Talaud dan Gorontalo bersatu bahu membahu.
Warga yang mendiami Dumoga telah saling mengajarkan, baik Budaya,
Toleransi dan kebajikan. Selain pertanian dan perkebunan Bali dan Jawa
mengajarkan komitmen, Minahasa mengajarkan tenggang rasa, Bugis, Cina,
Gorontalo dan Sumatera mengajarkan perdagangan dan Orang Mongondow
mengajarkan bagaimana menjadi ruan rumah yang baik.
Tak pelak, di Dumoga kemudian diwariskan Budaya Mongondow yang tinggi,
karena telah turun temurun hidup rukun sebagaimana Punu Mokodoludut
hingga Loloda dan Dinasti Manopo menerapkannya. Warisan leluhur ini
harus terus dipelihara dan tak boleh luntur hanya demi sebuah
kepenringan, warisan ini harus diterjemahkan dalam kehidupan bahwa
Dumoga merupakan sebuah situs sejarah social budaya leluhur.
0 komentar:
Posting Komentar