JKT48

Selasa, 06 Januari 2015

Deklarasi Bumbungon Saksi Toleransi, bolaang mongondow

Deklarasi Bumbungon Saksi Toleransi 
 MOKODOLUDUT Mendeklarasikan Kerajaan Bolaang Mongondow di Bukit Bumbungon (Dumoga kini) bukan tanpa arti, melainkan sebagai gambaran toleransi dalam kemajemukan telah dirintis sejak purba kala.


Lolada kecil sejak malam merengek pada sang ayah, sudah dua hari janji Sadohe untuk mengantarnya kepada sang Kakek Mokodoludut, Manggopa Kilat dan leluhur pencetus  Kerajaan Bolaang Mongondow lainnya belum terpenuhi. Loloda yang belia itu, sudah mendengar kehebatan dan ketokohan kedua kakek buyut yang menduami Gunung Karamat Bumbungon, hingga tak sabar ingin menemuinya.
Kala temaram berangsut digeser surya, langkah kecil itu seakan berlari mengejar sang Ayah yang bergelar punu itu, menjejal bebatuan muntahan Gunung Ambang yang berserakan dari Inobonto hingga Mobuya, menyusuri hutan belantara Mongkonai dan berhenti di puncak Tumuyu kala surya mulai mereda dijemput gulita. Di kejauhan itu, Gunung Karamat Bumbungon tampak berdiri tegak di kelilingi air yang mulai menyusut.
Banyak hal yang diajarkan Sang Punu pada Lolada kecil dalam perjalanan itu, mulai dari kisah menyatunya dua lempeng kecil hingga terbentuk danau di dataran Kotamobagu dan Dumoga, hingga kedigdayaan Bogani yang sangat piawai menaklukan musu di laut. Senandung kolintang mulai kedengaran saat Punu dan Putra Mahkotanya ini menuju Gunung Karamat tanpa pengawal, berada di dasar Tumuyu..
Perjalanan Punu dan calon penerusnya ini begitu mengasyikkan, selain berburu dan menangkap ikan, Loloda sesekali memungut bebatuan indah yang ingin dipersembahkannya sebagai hadiah pada sang kakek buyut yang mendiami Bukit Bumbungon. Sadohe menuntun putranya menyusuri danau dataran Dumoga yang tinggal berawa, sesekali tapak kecil itu tergelincir namun dengan gesit bangkit lagi.
Mentari belum sejajar tubuh namun keduanya telah dekat di Gunung Bumbungon, Manggopa Kilat yang kala itu sedang berada di kaki Gunung Karamat terkejut melihat Punu Sadohe bersama si kecil. dengan eitual penyambutan sang Punu, Manggopa Kilat langsung menjemput si Kecil dan menggendongnya, menaiki bukit Bumbungon, semakin ke puncak suara kolintang semakin terdengar merdunya.
Beberapa rumah panggung tertata rapi, dengan halaman luas berisi kolam dan taman yang indah. di satu balai berdiri seorang tuah dengan jenggot hampir menyentuh tanah, namun badannya masih lurus berotot. Dialah Sang Mokodoludut, Punu Molantud yang kesohor itu, dengan tenang menyapa sang cucu yang berterik kegirangan melihat sang Kakek, Lolada berlari dan sekelebat melompat dipelukan Mokodoludut.
Di Balai itu, Sadohe menceritakan kondisi Kerajaan Bolmong sembari menyampaikan salam Inde Dou dan Para Bogani. Lolda berbaring membantali Paha Manggopa Kilat dan menyandarkan kakinya di Paha Mokodoludut, sambil menyimak pembicaraan Sang ayah dan kedua Punu Molantud ini. Sadohe mengisahkan kedatangan orang kulit putih berhidung mancung dan keberhasilannya menaklukan perombak di perairan Inobonto kala Loloda dilahirkan.
Sadohe juga membahas wilayah Kerajaan Bolmong yang kian meluas mulai hingga Sangihe dan Batou Filipina, sehingga kwaula yang mendiami Kerjaannya beragam ras, suku dan bahasa. Mokodoludut kemudiat menyampaikan, bahwa disinilah kami mendeklarasikan kerjaan Bolaang Mongondow, dengan kemajemukan para Bogani berikrar membentuk kerajaan, dan di sini pulah akan disaksikan anak cucu kita di masa depan sebagai saksi bahwa kerajaan bolmong telah majemuk sejak purba kala.
Cerita semalam itu, membuat Lolada kecil selalu terngiang akan kedigdayaan leluhurnya di masa lampau, hingga menjadikannya modal dasar membangun Kejayaan Kerajaan Bolaang Mongondow ke depan. Setelah beberapa hari berada di Bukit Bumbungon, membuat Lolada tak ingin beranjak seakan ingin menyerap semua kebijakan dan kebajikan dari kedua Kakek dan mendiami Bumbungon beberapa saat.
Negosiasi dengan sang Ayah pun mulus, keinginan Loloda bersama kakek buyutnya pun terkabul, Sadohe harus segera kembali ke Inobonto mengurus kerajaan, apalagi kabar yang dihimpun Hulu Balang menyebutkan pesisir kerajaan mulai diincar orang Eropa. Punu Sadohe pamit dan meninggalkan Putra Mahkotanya didik para Proklamator Bolaang Mongondow demi Kejayaan kerajaannya kelak.
Waktu pun berbicara, Loloda bertahta dengan kawula yang majemuk, mulai dari suku, ras dan bahasa yang berbeda,semua diayomi tanpa pandang bulu, diberikan hak yang sama. Kebajikan dan kebijakan yang diajarkan Mokodoludut dan Manggopa Kilat dipraktekannya, Loloda melanjutkan pemerintahan Paloko Kinalang warisan sang Ayah dengan jenius, hingga pada akhirnya dilanjutkan Dinastu Manoppo saat berkuasa. 
Kemajemukan Bolaang Mongondow telah kesohor, Mongondow, Sangihe, Talaud dan Malesung (Minahasa) telah rukun dalam satu kerajaan, selain itu Etnik Bantik yang setia berjuang dengan Para Bogani telah mendiami pesisir bagian selatan, Dinasti Gobel dan kawulanya dari Gorontalo pun menemui Dinasti Manopo untuk mendiami pesisir utara dan sebagian di selatan Bolaang Mongondow.
Gelombang eksodus ke Bolaang Mongondow berlanjut hingga Indonesia menjadi sebuah Negara berdaulat, dan di Dataran Dumoga setelah terjadinya asimilasi antara kawula dari Kerajaan Bintauna dan Mongondow, beberapa dekade kemudian telah didatangi masarakat dari tanah Minahasa. di Era Orde Baru kebijakkan Presiden Soeharto untuk pemerataan penduduk, telah menghadirkan transmigrasi Jawa dan bali.
Kini Dumoga telah menjelma menjadi Indonesia Mini, dengan keberagaman suku, agama dan ras, telah melahirkan kearifan lokal mulai dari pertanian, perkebunan, ekonomi dan sosial. Di Dataran Dumoga kehidupan rukun dan damai terasa begitu kental, begitu kuat sehingga tak bisa dipisahkan. Orang Jawa, Bali, Sumatera, papua, Bugis, Makassar, Minahasa, Sangihe, Talaud dan Gorontalo bersatu bahu membahu.
Warga yang mendiami Dumoga telah saling mengajarkan, baik Budaya, Toleransi dan kebajikan. Selain pertanian dan perkebunan Bali dan Jawa mengajarkan komitmen, Minahasa mengajarkan tenggang rasa, Bugis, Cina, Gorontalo dan Sumatera mengajarkan perdagangan dan Orang Mongondow mengajarkan bagaimana menjadi ruan rumah yang baik.
Tak pelak, di Dumoga kemudian diwariskan Budaya Mongondow yang tinggi, karena telah turun temurun hidup rukun sebagaimana Punu Mokodoludut hingga Loloda dan Dinasti Manopo menerapkannya. Warisan leluhur ini harus terus dipelihara dan tak boleh luntur hanya demi sebuah kepenringan, warisan ini harus diterjemahkan dalam kehidupan bahwa Dumoga merupakan sebuah situs sejarah social budaya leluhur.

0 komentar:

Posting Komentar