Islam masuk di Indonesia tidak hanya melalui jalur perdagangan yang datang dari Gujarat. Akan tetapi ajaran Islam masuk ke negeri ini juga melalui jalur yang lain yakni melalui perkawinan, pengungsian serta sebuah operasi rahasia yang dilakukan oleh para Ulama Sufi yang menjadi penyebar ajaran Islam di bumi nusantara (Sunyoto, 2002: 47).
Sama halnya dengan ajaran-ajaran agama lain yang masuk ke negeri ini, Islam masuk pun juga tidak pernah melalui jalur senjata. Sebab masyarakat nusantara ketika itu telah memiliki persepsi yang sama tentang konsep ketuhanan. Hal ini bisa dilihat dari ajaran Hindu maupun Budha yang terlebih dahulu masuk ke Indonesia. Dalam ajaran kedua agama tersebut, kata Tuhan pastinya selalu didefenisikan sebagai sesuatu yang tak bisa dibayang-bayangkan, tak bisa di angan-angankan dan tidak bisa terbahasakan (Sunyoto, 2002: 5).
Begitu juga dengan beberapa ajaran kuno atau lokal yang ada di negeri ini, kesemuanya merupakan ajaran-ajaran yang memiliki landasan ketauhidan yang mirip dengan Islam. Bahkan di beberapa daerah, biasa didapatkan ajaran-ajaran lokal yang memiliki ajaran yang sama persis dengan apa yang dimiliki oleh ajaran Islam itu sendiri.
Hal tersebut juga sangatlah dikuatkan dengan situasi ketika itu, proses Islamisasi yang terjadi di Indonesia, ketika tasawuf merupakan corak pemikiran yang dominan dalam dunia Islam. Bahkan tulisan-tulisan paling awal karya muslim Indonesia bernapaskan semangat tasawuf. Sehingga dengan tasawuf inilah juga, orang Indonesia kemudian berbondong-bondong memeluk Islam (Bruinessen, 1992: 15).
Salah satu dari tokoh awal yang menyebarkan ajaran tasawuf di kepulauan Nusantara ini adalah Syaikh Siti Jenar, yang terkenal dengan konsepnya yang kontroversial tentang persoalan hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, apa yang disebut umum sebagai kematian, justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi olehnya. Sebagai konsekuensinya, kehidupan manusia di dunia ini tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian, misalnya hukum negara, tetapi tidak termasuk hukum syariat peribadatan sebagaimana yang ditentukan oleh syariat agama Islam (Chodjim, 2004: 23).
Baginya, syariah baru akan berlaku setelah manusia menjalani kehidupan pasca kematian. Syaikh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang juga dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu, mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam, kira-kira pada abad ke-9 Masehi) tentang hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat Tuhan dan manusia (Chodjim, 2004: 29).
Menurut Ahmad Chodjim (2004: 25-26), pandangan Syaikh Siti Jenar sejatinya mengajarkan pemahaman ketauhidan itu semestinya melewati empat tahap, yaitu:
1. Syariat, yakni dengan menjalankan hukum-hukum agama seperti shalat, zakat, dan lain-lain.
2. Tarekat, yakni dengan melakukan amalan-amalan seperti wirid, zikir dalam waktu dan hitungan tertentu.
3. Hakekat, yakni dimana hakikat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan.
4. Makrifat, yakni kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya.
Artinya bahwa bukan berarti setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut, maka tahapan di bawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ajaran ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syaikh Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami ratusan tahun setelah wafatnya Syaikh Siti Jenar. Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada masyarakat awam dimana pada masa itu, ajaran Islam yang harus disampaikan seharusnya masih pada tingkatan syariat, sedangkan ajaran Syaikh Siti Jenar sangatlah filosofis dan telah jauh memasuki tahap hakekat, bahkan makrifat kepada Allah. Oleh karena itu, ajaran yang disampaikan oleh Syaikh Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan label sesat ketika masa itu oleh para Wali Songo.
Selain itu, Syaikh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas, sebagaimana juga pandangan ini diungkapkan oleh Rabiyah al-Adawiyah. Bahkan dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat (utamanya para penganut tarekat Akmaliyah) bahwa Syaikh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Arti dari Manunggaling Kawula lan Gusti dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya (Sunyoto, 2011: 178-179 dan Kandito, 2012: 105).
Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai dengan Firman Allah dalam surah Shaad ayat 71-72 yang menerangkan tentang penciptaan manusia, yang artinya adalah: “ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: ‘sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah kusempurnakan kejadiannya dan kutiupkan kepadanya ruh-Ku, maka hendaklah kalian terseungkur dengan bersujud kepadanya’”.
Dengan demikian, ruh manusia menyatu dengan ruh Tuhan ketika penyembahan terhadap Tuhan itu terjadi. Yang menjadi persoalan kemudian adalah timbulnya perbedaan penafsiran terhadap ayat tersebut di kalangan pengikut Syaikh Siti Jenar, yang kemudian menimbulkan polemik tentang ajarannya tentang paham tersebut.
Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an tersebut dari para murid Syaikh Siti Jenar inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham Manunggaling Kawula Gusti.
B. Alasan Memilih Tema dan Rumusan Masalah
Dalam karya James Peacock Purifying The Faith (1979), ia menyatakan bahwa Islam yang datang ke Jawa adalah Islam sufi yang dengan mudah diterima serta diserap ke dalam sinkretisme Jawa. Keberadaan Suluk Wujil, Primbon Bonang, Suluk Linglung, Suluk Sukarsa, Suluk Sujinah, Suluk Syaikh Malaya, Suluk Pustaka Rancang, Serat Dewa Ruci, dan Serat Cabolek, menunjukkan bukti bahwa perkembangan Islam di Jawa, khususnya di era Wali Songo, lebih didominasi oleh paham kesufian. Fleksibelitas dari ajaran sufisme inilah yang terlihat jejaknya pada proses dakwah Islam di Nusantara lewat jalur asimilatif dalam kehidupan budaya, sosial, religi, seni, sastra, pendidikan, dan adat kebiasaan.
Selain itu, sejatinya jalan kesufian atau sufisme ini, dalam rangka memperkenalkan Tuhan di kalangan masyarakat Jawa yang memiliki tradisi mistik yang kuat ketika fase ajaran Hindu dan Buddha, sangatlah tepat. Sebagaimana yang dikatakan Arkoun dalam Kuswanjono (2006: 6) bahwa jalan yang dapat ditempuh untuk mengenal Tuhan (dengan mudah) adalah jalan tasawuf (mistik). Jalan tasawuf (mistik) ini bukan hanya dimiliki oleh Islam saja, tetapi dimiliki pula oleh semua agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Dimana tujuan akhir darinya adalah pengalaman yang hidup tentang pertemuan internal dan dan menyatukan orang yang beriman dengan Tuhan yang pribadi.
Kemudian, sejauh yang dapat penulis telusuri tentang aliran-aliran sufisme atau tasawuf yang paling awal masuk ke Nusantara, aliran yang tasawuf yang berkembang paling awal adalah tarekat Akmaliyah dan tarekat Syathariyah yang kemudian disusul tarekat Kubrawiyah, Haqmaliyah, Samaniyah, Rifa’iyah, Khalwatiyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan lainnya. Diantara tokoh penyebar Islam awal tersebut, utamanya dalam jamaah Wali Songo, yang secara terbuka mengajarkan tarekat adalah Syaikh Datuk Abdul Jalil yang dikenal dan masyhur dengan sebutan Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang, yang ajaran tentang paham ketuhanannya di pulau Jawa terkenal dengan Manunggaling Kawula lan Gusti.
Jika memperhatikan dengan seksama apa yang disebutkan oleh Khan Sahib Khaja Khan (1987), dimana dalam kalangan sufisme terdapat dua paham pemikiran yang besar yang dianut oleh para pelaku tarekat-tarekat sufi. Paham pertama adalah paham wujudiyah yang mengajarkan doktrin bahwa manusia (alam) berasal dari pengetahuan ilahi dan akan mendapat pengalaman dari dunia untuk kemudian menuju ‘Ain-Nya. Segala sesuatu ada di dalam kandungan Tuhan. Paham ini kemudian dikenal dengan sebutan wahdatul wujud, yang oleh kebanyakan pengamat barat secara keliru disamakan dengan pantheisme. Tokoh dari paham ini yang terkenal diantaranya adalah Husein bin Mansyur al-Hallaj, Abu Yazid al-Busthami, Syihabuddin al-Suhrawardi, dan Muhyiddin Ibnu Arabi. Kemudian paham yang kedua selain paham wujudiyah adalah paham syuhudiyah yang mempercayai doktrin adanya dua Dzat. Yang pertama adalah Yang Nyata (reality) dan yang kedua adalah Yang Tidak Nyata (non-reality). Yang pertama adalah Tuhan dan yang kedua adalah Hamba. Pada Tuhan terkandung terkandung sifat ada (wujud) dan pada hamba terkandung sifat tidak ada (‘adam), dan ‘adam sperti itu adalah hubungan (idhafi) namun bukan yang hakiki. Dzat Tuhan dan Dzat hamba adalah dua bukan satu, dan ketidaksempurnaan hanyalah melekat pada yang ‘adam. Bagaimanapun hubungan yang terjadi antara Tuhan dengan hamba berlangsung tidak akan mungkin terjadi persatuan. Diantara tokoh yang terkenal dari paham ini adalah Abu Hamid al-Ghazali.
Kemudian di Nusantara sendiri, jika melihat perkembangan awal dari sufisme di wilayah ini khususnya di pulau Jawa, maka akan ditemui bahwa paham yang berkembang lebih awal di Nusantara, sebagaimana yang dikatakan oleh Sunyoto (2011: 235), adalah paham wujudiyah. Salah satu tokoh awal dan terkenal yang menjadi penyebar paham tersebut utamanya di era Wali Songo adalah Syaikh Datuk Abdul Jalil yang masyhur disebut dengan Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang, yang akan penulis analisa secara lebih mendalam tentang paham ketuhanan yang dimilikinya.
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan makalah ini guna mendapatkan hasil yang signifikan dan tersistimatis adalah:
1. Bagaimana riwayat perjalanan hidup dari Syaikh Siti Jenar?
2. Bagaimana bentuk paham ketuhanan yang dimiliki oleh Syaikh Siti Jenar?
II. PEMBAHASAN
A. Riwayat Singkat Syekh Siti Jenar
Sebagaimana kisah hidupnya yang diliputi kisah-kisah kontroversial, asal usul tokoh yang bernama asli Syaikh Datuk Abdul Jalil yang masyhur dikenal dengan nama Syaikh Lemah Abang, Syaikh Jabarantas, Syaikh Sitibrit, Pangeran Kajenar, atau yang termasyhur sebagai Syaikh Siti Jenar ini memang tergolong kontroversial dan aneh. Menurut Babad Demak dan Babad Tanah Jawi sebagaimana yang dikutip oleh agus Sunyoto (2011: 172), bahwa asal-usul Syaikh Lemah Abang adalah seekor cacing yang berubah menjadi manusia setelah mendengar wejangan rahasia Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga diatas perahu ditengah laut. Sedangkan menurut D.A Rinkes (1996: 27) yang mengutip naskah tulisan tangan milik Raden Ngabehi Soeradipoera, mengatakan bahwa Syaikh Lemah Abang sejatinya adalah Abdul Jalil putera dari Sunan Gunung Jati.
Kemudian, menurut Serat Walisana, Syaikh Lemah Abang sejatinya adalah seorang tukang sihir bernama San Ali Anshar, yang tidak diterima berguru kepada Sunan Giri, namun tetap berusaha memperoleh ilmu rahasia dari Sunan Giri. Semnetara itu, menurut cerita lisan yang kebenarannya diyakini oleh para penganut tarekat Akmaliyah, tokoh Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti Jenar adalah putera Ratu Cirebon yang ditugasi menyiarkan agama Islam di seluruh tanah Jawa dengan membuka pedukuhan-pedukuhan yang dinamai Lemah Abang, yang tersebar dari wilayah Banten di barat sampai Banyuwangi di timur (Sunyoto, 2011: 172).
Menurut naskah Wangsakertan Cirebon yang berjudul Negara Kretabhumi Sargha III pupuh 76 yang dikutip oleh Agus Sunyoto (2011: 172), tokoh yang bernama Syaikh Lemah Abang itu lahir di Malaka dengan nama Abdul Jalil. Ia putera Syaikh Datuk Shaleh. Naskah Wangsakertan lain yang berjudul pustaka rajya-rajya i bumi nusantara jilid V: II-2 menyebutkan bahwa silsilah Syaikh Lemah Abang yang bernama pribadi Syaikh Datuk Abdul Jalil itu berujung pada nabi Muhammad saw, turun melalui Fatimah dan Ali bin Abi Thalib, turun ke Husein, terus ke Ali Zainal Abidin, turun ke Jakfar Shadiq, hingga ke Maulana Abdul Malik yang tinggal di Bharata Nagari. Maulana Abdul Malik dari Bharata Nagari ini menurunkan Al-Amir Abdullah Khannuddin, menurunkan Al-Amir Ahmadsyah Jalaluddin yang dikenal juga dengan nama Syaikh Kadir Kaelani. Al-Amir Ahmadsyah Jalaluddin atau Syaikh Ahmad Kaelani ini menurunkan Maulana Isa alias Syaikh Datuk Isa yang tinggal di Malaka Nagari. Syaikh Datuk Isa dikisahkan memiliki putera Syaikh Datuk Ahmad dan Syaikh Datuk Shaleh. Syaikh Datuk Ahmad berputera Syaikh Datuk Bayan dan Syaikh Datuk Kahfi. Sedangkan Syaikh Datuk Shaleh berputera Syaikh Datuk Abdul Jalil yang kelak termasyhur dengan nama Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti Jenar. Demikianlah, Syaikh Datuk Abdul Jalil alias Syaikh Lemah Abang adalah saudara sepupu dari Syaikh Datuk Kahfi, pengasuh pesantren Giri Amparan Jati dan guru dari penguasa Cirebon, Pangeran Cakrabuana alias Sri Mangana (Sunyoto, 2011: 173).
Sewaktu memasuki usia dewasa, ia pergi menuntut ilmu di Persia dan tinggal di Baghdad selama kurang lebih 17 tahun. Ia berguru kepada seorang Mullah Syiah Munthadar (Syiah Imamiyah) dan menguasai berbagai jenis ilmu pengetahuan agama (Sunyoto, 2011: 173 dan Kandito, 2012: 45-46). Menurut cerita tutur dikalangan penganut tareka Akmaliyah, orang Syiah Munthadar tersebut bernama Abdul Malik Al Baghdadi dan kelak menjadi mertua Syaikh Lemah Abang. Rupanya selama menuntut ilmu di Baghdad, Syaikh Abdul Jalil lebih berminat mendalami ilmu tasawuf sehingga ia sangat mendalam penguasannya dalam ilmu tersebut. Bahkan karena ketertarikannya terhadap ilmu tersebut, ia berguru kepada Syaikh Ahmad yang menganut aliran tarekat Akmaliyah yang jalur silsilahnya sampai kepada Abu Bakar As-Shiddiq ra (Sunyoto, 2011: 173).
Selain itu, menurut Sunyoto (2011: 174), bahwa Syaikh Lemah Abang juga menjadi penganut aliran tarekat Syathariyyah yang diperoleh dari saudara sepupunya yang juga menjadi guru ruhaninya, yakni Syaikh Datuk Kahfi yang merupakan guru dari penguasa Cirebon atau Caruban Larang, Sri Mangana, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Sehingga kemudian, melalui pergumulannya di Baghdad tersebutlah dalam berbagai disiplin ilmu, menjadikan segala sesuatu yang dikeluarkannya (paham yang dimilikinya), cenderung berbeda dari segala bentuk ajaran agama Islam yang lazim pada zaman tersebut. Sebab, menurut penulis, ajaran Islam yang ada di Nusantara kala itu, utamanya yang dianut oleh kalangan istana, lebih cenderung ke arah Islam syariat belaka. sehingga ajaran dari Syaikh Siti Jenar ini dari luarnya sedikit berbeda dengan apa yang diajarkan oleh para wali, sebab Syekh Siti Jenar mencoba memformulasikan ajaran tasawuf dengan filsafat hidup yang menjadikan ajarannya agak berbeda dengan kelaziman yang ada pada waktu itu. Bahkan sangat dimungkinkan pemikiran yang ada tersebut sudah ada pada dirinya ketika dia belajar di Baghdad yang diketahui pada masa itu (abad ke-16) merupakan pusat peradaban ilmu pengetahuan, sebagaimana juga yang dikatakan oleh Argawi Kandito dalam bukunya Pengakuan-Pengakuan Syaikh Siti Jenar (2012).
B. Paham Ketuhanan Syaikh Siti Jenar
Menurut Argawi Kandito (2012: 69-70), Tuhan dalam pemahaman Syeikh Siti Jenar tidak akan bisa didefenisikan dengan sempurna, karena pemahaman manusia maupun bahasa yang digunakan oleh manusia tidak akan mampu mengungkap esensi tuhan. Namun secara garis besar, dalam pandangan Syekh Siti Jenar, bahwa Tuhan adalah Dzat yang melingkupi alam materi dan alam jiwa sekaligus. Sehingga wujud Tuhan tidak mampu diindera oleh manusia dan makhluk lain yang diciptakan olehNya. Indera manusia hanya bisa digunakan untuk mengindera hal-hal yang berwujud materi saja, yang sangat terbatas jumlahnya. Dzat Tuhan yang juga melingkupi alam jiwa dan alam esensi tak akan mampu diserap oleh indera. Maka dengan demikian, pemaknaan tentang Tuhan tidak akan mampu menunjukkan kesejatian Tuhan. Oleh karena itu, sangat wajar bila orang-orang yang gemar melakukan perjalanan spritual untuk mencari esensi Tuhan, kemudian enggan untuk memaknai Tuhan itu sendiri. Sang Buddha Sidharta Gautama misalnya, adalah salah seorang yang melakukan praktek suluk (perjalanan spritual, orang yang mempraktekkannya disebut sebagai salik) yang enggan memaknai wujud Tuhan itu sendiri. Bahkan, para nabi, para wali dan para salik lainnya pun juga enggan untuk memaknai Tuhan. Kebanyakan dari mereka hanya menunjukkan indikasi adanya Tuhan berdasarkan sifat-sifat dan Kedudukan tuhan di atas makhluk-makhlukNya. Sehingga memang Tuhan itu sendiri tak dapat didefenisikan secara mendasar, sebab pemahaman maupun bahasa yang dugunakan oleh manusia tidak akan pernah mampu untuk mengungkapkan esensi dan kesejatian dari Tuhan itu sendiri.
Kemudian mengenai hubungan Tuhan dengan makhluk ciptaan-Nya, Kandito (2012: 70) menyatakan bahwa manusia dan makhluk lainnya dalam kacamata Syekh Siti Jenar adalah bagian dari Tuhan. Sepertinya, yang dimaksud sebagai bagian dari Tuhan ini adalah bahwa materi maupun jiwa yang dimiliki oleh manusia adalah sebagian kecil dari materi dan esensi Tuhan. Sebab dalam kitab ajaran agama Islam (Alquran) dikatakan bahwa Tuhan meniupkan sebagian ruh-Nya kepada manusia pertama (Adam), sehingga dapat dikatakan manusia adalah bagian dari Tuhan itu sendiri. Sehingga tidak salah jika materi dan jiwa pada alam ini disebut sebagai makhluk, sebab mereka adalah makhluk baru yang timbul dari keqadiman Tuhan.
Pandangan diatas, jika dilihat lebih lanjut lagi, akan sampai pada apa yang dikatakan oleh Agus Sunyoto (2011: 174-175) bahwa pandangan-pandangan yang dilontarkan oleh Syaikh Siti Jenar ini memang sangat berbeda dengan kelaziman karena disebabkan oleh pergumulan pencarian ilmu pengetahuannya yang dilakukan di Baghdad yang pada saat itu merupakan sentral dari peradaban Islam, dimana ilmu tasawuf sangat dominan dalam setiap kajian pengetahuan. Ditambah lagi dengan adanya pengaruh ilmu filsafat ke dalam ajaran tasawuf tersebut. sehingga faham ketuhanan yang dipegangi oleh Syekh Siti Jenar tersebut, yang sebelumnya diformulasikan antara ajaran tasawuf yang dipadukan dengan ilmu filsafat dan logika, menimbulkan ketidaklaziman dalam masyarakat umum atau awam. Karena ajaran yang semula rahasia tersebut yang didasarkan pada pengetahuan intuitif menjadi kian terbuka dengan pembahasan yang filosofis. Sebab baginya, pengetahuan makrifat (gnostik) yang bersifat supra-rasional tidak harus dijabarkan dengan sistem isyarat (kode) yang bersifat mistis dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akal sehat. Sebaliknya pengetahuan tersebut seharusnya dijelaskan secara rasional dan bisa diterima oleh akal.
Selain itu, pandangan-pandangan dari Syaikh Siti Jenar ini juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Ibnu Arabi dan Al-Hallaj. Dimana menurut Zoetmulder (1991) dan Sunyoto (2011) bahwa segala sesuatu yang diungkapkan oleh Syekh Siti Jenar kala itu jelas sangat dipengaruhi oleh kedua tokoh tersebut. Dimana keduanya juga terkenal dengan ajaran tasawuf yang menggunakan pendekatan ilmu filsafat dan logika. Sehingga ketika hal tersebut dibawa ke kalangan masyarakat umum atau awam, maka akan dengan serta merta menimbulkan sebuah kesalahpahaman yang kemudian menjadi titik balik dari ajarannya.
Bahkan Sunyoto lebih memperincinya lagi dalam tulisannya tersebut bahwa Syaikh Siti Jenar adalah seorang penganut tarekat Akmaliyah dan tarekat Syathariyyah. Dari tarekat Akmaliyah itulah Syaikh Siti Jenar mengungkapkan ajarannya mengenai pandangannya tentang Tuhan. Sebab pada masa silam, tarekat Akmaliyah ini jiga dianut dan diamalkan oleh kedua tokoh sufi yang disebutkan sebelumnya, yakni Al-Hallaj dan Ibnu Arabi (Sunyoto, 2011: 175). Sedangkan dalam tarekat Syathariyaah sendiri, dalam ajarannya tentang ketuhanan, hampir sama dengan paham wahdatul wujud. Dimana Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu immanen dengan alam, namun lebih menekankan pada transendennya Tuhan dengan alam (Masyhuri, 2011: 291).
Sebagaimana ajaran Al-Hallaj tentang hulul, sepertinya Syaikh Siti Jenar juga mengajarkan bahwa penciptaan alam semesta ini tidak lain dikarenakan Allah ingin menyaksikan diri-Nya di luar diri-Nya sebagaimana bunyi dari hadits qudsi berikut, yang artinya: ‘Aku adalah perbendaharaan harta yang tersembunyi, lalu Aku ingin dikenal maka Aku menciptakan makhluk’ (Zahri, 1979: 223).
Hal tersebut dapat dilihat dari apa yang diutarakan oleh Sunyoto (2011: 175), bahwa karena semua yang ada adalah Dzat Allah semata dalam pandangan Syekh Siti Jenar, maka saat Allah menciptakan alam semesta, tidaklah dengan Dzat lain melainkan dengan Dzat-Nya sendiri (atau dengan kata lain terjadi proses emanasi di dalamnya, sebgaimana teori Al Farabi dan juga Ibnu Arabi tentnag emanasi ini). Dimana lewat ciptaan-Nya ini, Allah kemudian menyaksikan diri-Nya sendiri. Dengan pandnagan yang demikian, sebagaimana juga Ibnu Araby, Syaikh Siti Jenar sepertinya meyakini bahwa di dalam semua ciptaan Tuhan (khalq), tersembunyi anasir sang pencipta (Haq). Dimana dalam hal ini khalq disebut sebagai yang dzahir dan Haq disebut yang bathin. Sehingga, khalq adalah wujud yang tergantung pada wujud Tuhan yang mutlak. Tanpa wujud yang mutlak dari Tuhan, tidak akan ada khalq yang maujud. Artinya bahwa yang memiliki wujud yang hakiki dalam pandangan Syaikh Siti Jenar ini adalah Tuhan, sedanagkan khalq (ciptaan) hanyalah merupakan bayangan maya dari tuhan itu sendiri.
Ajaran Syaikh Siti Jenar ini, yang di pulau Jawa dikenal dengan sebutan manunggaling kawula lan gusti sebagaimana yang disebutkan oleh Zoetmulder (1991) dan Agus Sunyoto (2011), sejatinya menanamkan suatu pemahaman ketuhanan yang dapat dikatakan sebagai ajaran yang menyatakan bahwa semua makhluk di dunia ini pada hakikatnya sama di hadapan Tuhan, baik dia seorang raja, wali, atau fakir miskin. Karena mereka semua adalah hijab dari Tuhan. Itulah sebabnya, meskipun manusia berkedudukan sebgaai raja atau pejabat lainnya, jika tidak mengetahui hakikat sejati dari kehidupan, maka mereka akan jatuh ke dalam kekosongan ukhrawiah. Sebaliknya, meski orang tersebut di hadapan manusia yang lain adalah hina papa, semisal pemulung atau para pengemis, jika mereka telah waskita dan memiliki pemahaman yang utuh tentang hakikat kehidupan yang sejati, dimana telah memahami betul makna ketunggalan dari khalq (ciptaan) dan Haq (pencipta) tadi, maka mereka akan memperoleh kehidupan yang abadi.
Hal tersebut juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Ahmad Chodjim (2004: 22-23), bahwa manusia yang hidup di dunia ini bersifat mayit atau mati, sehingga kehidupan yang ada sekarang ini bukanlah kehidupan sejati karena masih dihinggapi oleh kematian. Hidup sejati adalah tak tersentuh oleh kematian dalam pandangan Syaikh Siti Jenar. Menurutnya lagi, sebagaimana apa yang dimaksudkan oleh Syaikh Siti Jenar tentang ajarannya tentang Tuhan, Tuhan tidak butuh tempat tinggal, taman-Nya merupakan tempat kembali hamba-hamba-Nya. Namun Dia tidak ada di dalam ataupun di luar taman-Nya. Sebab hamba menyatu dengan Tuhan, hidup seorang hamba tidak pernah terpisah dari Tuhan. Sehingga diri pribadi yang sejatinya ada adalah jika hamba tersebut betul-betul hidup (Chodjim, 2004: 33).
III. PENUTUP
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan dalam makalah ini, antara lain adalah:
1. Tokoh Syaikh Siti Jenar ini merupakan salah satu tokoh Islam awal yang sangat kontroversial sampai saat ini, sehingga sangat sulit untuk dilakukan klaim tentang seperti apa gambaran perjalanan hidup darinya. Namun penulis sendiri meyakini bahwa tokoh yang satu ini, dibalik segala kontroversial dari dirinya, adalah seorang tokoh yang nyata dan bukan tokoh yang direkayasa seperti anggapan sebagian orang. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya silsilah nasab yang jelas darinya, terutama dalam naskah-naskah yang berasal dari Cirebon dan juga beberapa pengakuan dari para penganut tarekat Akmaliyah. Selain itu dapat dikatakan disini bahwa menurut hemat penulis, silsilal nasab yang tepat untuk dijadikan sebagai rujukan adalah yang berasal dari Cirebon tersebut seperti naskah Wangsakertan Cirebon yang sedikit memiliki penjelasan yang rasional dibanding beberapa naskah lain yang sepertinya tidak masuk akal. Selain itu, ada indikasi naskah-naskah yang ada tersebut sangat mungkin telah dipolitisasi oleh pihak keraton pada saat itu sebagai upaya mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan dan dinastinya.
2. Adapun konsep ketuhanan yang dimiliki oleh Syaikh Siti Jenar adalah apa yang masyhur di pulau Jawa dengan sebutan Manunggaling Kawula lan Gusti, yang dalam pemahaman penulis hampir sama dengan ajaran dari paham wahdatul wujud. Dimana Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu immanen dengan alam (manusia). Selain itu, ajarannya tentang ketuhanan ini merupakan salah satu dari bentuk paham wujudiyah yang mengajarkan doktrin bahwa manusia (alam) berasal dari pengetahuan ilahi dan akan mendapat pengalaman dari dunia untuk kemudian menuju ‘Ain-Nya. Segala sesuatu ada di dunia ini adalah di dalam kandungan Tuhan itu sendiri. Sehingga dapat dikatakan kemudian bahwa dalam pandangan Syekh Siti Jenar segala sesuatu yang ada adalah hanya Dzat Allah semata. Dimana saat Allah menciptakan alam semesta, tidaklah dengan Dzat lain melainkan dengan Dzat-Nya sendiri (dengan kata lain terjadi proses emanasi di dalamnya). sehingga lewat ciptaan-Nya ini, Allah kemudian menyaksikan diri-Nya sendiri. Dengan pandangan yang demikian, Syaikh Siti Jenar sepertinya meyakini bahwa di dalam semua ciptaan Tuhan (khalq), tersembunyi anasir sang pencipta (Haq). Dimana dalam hal ini khalq disebut sebagai yang dzahir dan Haq disebut yang bathin. Sehingga, khalq adalah wujud yang tergantung pada wujud Tuhan yang mutlak. Tanpa wujud yang mutlak dari Tuhan, tidak akan ada khalq yang maujud. Artinya bahwa yang memiliki wujud yang hakiki dalam pandangan Syaikh Siti Jenar ini adalah Tuhan, sedangkan khalq (ciptaan) hanyalah merupakan bayangan maya dari tuhan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Bruinessen, Martin van, 1992, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Mizan, Bandung.
Chodjim, Ahmad, 2004, Syekh Siti Jenar: Makna Kematian, Serambi, Jakarta.
Departemen Agama RI, 2004, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta.
Kandito, Argawi, 2012, Pengakuan-pengakuan Syaikh Siti Jenar, Pustaka Pesantren, Yogyakarta.
Khan, Khan Sahib Khaja, 1987, Cakrawala Tasawuf, Rajawali Press, Jakarta.
Kuswanjono, Arqom, 2006, Ketuhanan dalam Telaah Filsafat Perenial: Refleksi Pluralisme Agama di Indonesia, Badan Penerbitan Filsafat UGM, Yogyakarta.
Masyhuri, Aziz, 2011, Ensiklopedia 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf, Imtiyaz, Surabaya.
Peacock, James L., 1979, Purifying The Faith, University of California Press, California.
Rinkes, D.A, 1996, Nine Saint of Java, Malaysian Sociological Research Institute, Kuala Lumpur.
Sunyoto, Agus, 2002, Suluk Abdul Jalil, buku I, LKiS, Yogyakarta.
__________, 2011, Wali Songo:Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan, Transpustaka, Tangerang.
Zahri, Mustafa, 1979, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, Bina Ilmu, Surabaya.
Zoetmulder, P. J, 1991, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa; Suatu Studi Filsafat, Gramedia, Jakarta.