JKT48

Selasa, 06 Januari 2015

Deklarasi Bumbungon Saksi Toleransi, bolaang mongondow

Deklarasi Bumbungon Saksi Toleransi 
 MOKODOLUDUT Mendeklarasikan Kerajaan Bolaang Mongondow di Bukit Bumbungon (Dumoga kini) bukan tanpa arti, melainkan sebagai gambaran toleransi dalam kemajemukan telah dirintis sejak purba kala.


Lolada kecil sejak malam merengek pada sang ayah, sudah dua hari janji Sadohe untuk mengantarnya kepada sang Kakek Mokodoludut, Manggopa Kilat dan leluhur pencetus  Kerajaan Bolaang Mongondow lainnya belum terpenuhi. Loloda yang belia itu, sudah mendengar kehebatan dan ketokohan kedua kakek buyut yang menduami Gunung Karamat Bumbungon, hingga tak sabar ingin menemuinya.
Kala temaram berangsut digeser surya, langkah kecil itu seakan berlari mengejar sang Ayah yang bergelar punu itu, menjejal bebatuan muntahan Gunung Ambang yang berserakan dari Inobonto hingga Mobuya, menyusuri hutan belantara Mongkonai dan berhenti di puncak Tumuyu kala surya mulai mereda dijemput gulita. Di kejauhan itu, Gunung Karamat Bumbungon tampak berdiri tegak di kelilingi air yang mulai menyusut.
Banyak hal yang diajarkan Sang Punu pada Lolada kecil dalam perjalanan itu, mulai dari kisah menyatunya dua lempeng kecil hingga terbentuk danau di dataran Kotamobagu dan Dumoga, hingga kedigdayaan Bogani yang sangat piawai menaklukan musu di laut. Senandung kolintang mulai kedengaran saat Punu dan Putra Mahkotanya ini menuju Gunung Karamat tanpa pengawal, berada di dasar Tumuyu..
Perjalanan Punu dan calon penerusnya ini begitu mengasyikkan, selain berburu dan menangkap ikan, Loloda sesekali memungut bebatuan indah yang ingin dipersembahkannya sebagai hadiah pada sang kakek buyut yang mendiami Bukit Bumbungon. Sadohe menuntun putranya menyusuri danau dataran Dumoga yang tinggal berawa, sesekali tapak kecil itu tergelincir namun dengan gesit bangkit lagi.
Mentari belum sejajar tubuh namun keduanya telah dekat di Gunung Bumbungon, Manggopa Kilat yang kala itu sedang berada di kaki Gunung Karamat terkejut melihat Punu Sadohe bersama si kecil. dengan eitual penyambutan sang Punu, Manggopa Kilat langsung menjemput si Kecil dan menggendongnya, menaiki bukit Bumbungon, semakin ke puncak suara kolintang semakin terdengar merdunya.
Beberapa rumah panggung tertata rapi, dengan halaman luas berisi kolam dan taman yang indah. di satu balai berdiri seorang tuah dengan jenggot hampir menyentuh tanah, namun badannya masih lurus berotot. Dialah Sang Mokodoludut, Punu Molantud yang kesohor itu, dengan tenang menyapa sang cucu yang berterik kegirangan melihat sang Kakek, Lolada berlari dan sekelebat melompat dipelukan Mokodoludut.
Di Balai itu, Sadohe menceritakan kondisi Kerajaan Bolmong sembari menyampaikan salam Inde Dou dan Para Bogani. Lolda berbaring membantali Paha Manggopa Kilat dan menyandarkan kakinya di Paha Mokodoludut, sambil menyimak pembicaraan Sang ayah dan kedua Punu Molantud ini. Sadohe mengisahkan kedatangan orang kulit putih berhidung mancung dan keberhasilannya menaklukan perombak di perairan Inobonto kala Loloda dilahirkan.
Sadohe juga membahas wilayah Kerajaan Bolmong yang kian meluas mulai hingga Sangihe dan Batou Filipina, sehingga kwaula yang mendiami Kerjaannya beragam ras, suku dan bahasa. Mokodoludut kemudiat menyampaikan, bahwa disinilah kami mendeklarasikan kerjaan Bolaang Mongondow, dengan kemajemukan para Bogani berikrar membentuk kerajaan, dan di sini pulah akan disaksikan anak cucu kita di masa depan sebagai saksi bahwa kerajaan bolmong telah majemuk sejak purba kala.
Cerita semalam itu, membuat Lolada kecil selalu terngiang akan kedigdayaan leluhurnya di masa lampau, hingga menjadikannya modal dasar membangun Kejayaan Kerajaan Bolaang Mongondow ke depan. Setelah beberapa hari berada di Bukit Bumbungon, membuat Lolada tak ingin beranjak seakan ingin menyerap semua kebijakan dan kebajikan dari kedua Kakek dan mendiami Bumbungon beberapa saat.
Negosiasi dengan sang Ayah pun mulus, keinginan Loloda bersama kakek buyutnya pun terkabul, Sadohe harus segera kembali ke Inobonto mengurus kerajaan, apalagi kabar yang dihimpun Hulu Balang menyebutkan pesisir kerajaan mulai diincar orang Eropa. Punu Sadohe pamit dan meninggalkan Putra Mahkotanya didik para Proklamator Bolaang Mongondow demi Kejayaan kerajaannya kelak.
Waktu pun berbicara, Loloda bertahta dengan kawula yang majemuk, mulai dari suku, ras dan bahasa yang berbeda,semua diayomi tanpa pandang bulu, diberikan hak yang sama. Kebajikan dan kebijakan yang diajarkan Mokodoludut dan Manggopa Kilat dipraktekannya, Loloda melanjutkan pemerintahan Paloko Kinalang warisan sang Ayah dengan jenius, hingga pada akhirnya dilanjutkan Dinastu Manoppo saat berkuasa. 
Kemajemukan Bolaang Mongondow telah kesohor, Mongondow, Sangihe, Talaud dan Malesung (Minahasa) telah rukun dalam satu kerajaan, selain itu Etnik Bantik yang setia berjuang dengan Para Bogani telah mendiami pesisir bagian selatan, Dinasti Gobel dan kawulanya dari Gorontalo pun menemui Dinasti Manopo untuk mendiami pesisir utara dan sebagian di selatan Bolaang Mongondow.
Gelombang eksodus ke Bolaang Mongondow berlanjut hingga Indonesia menjadi sebuah Negara berdaulat, dan di Dataran Dumoga setelah terjadinya asimilasi antara kawula dari Kerajaan Bintauna dan Mongondow, beberapa dekade kemudian telah didatangi masarakat dari tanah Minahasa. di Era Orde Baru kebijakkan Presiden Soeharto untuk pemerataan penduduk, telah menghadirkan transmigrasi Jawa dan bali.
Kini Dumoga telah menjelma menjadi Indonesia Mini, dengan keberagaman suku, agama dan ras, telah melahirkan kearifan lokal mulai dari pertanian, perkebunan, ekonomi dan sosial. Di Dataran Dumoga kehidupan rukun dan damai terasa begitu kental, begitu kuat sehingga tak bisa dipisahkan. Orang Jawa, Bali, Sumatera, papua, Bugis, Makassar, Minahasa, Sangihe, Talaud dan Gorontalo bersatu bahu membahu.
Warga yang mendiami Dumoga telah saling mengajarkan, baik Budaya, Toleransi dan kebajikan. Selain pertanian dan perkebunan Bali dan Jawa mengajarkan komitmen, Minahasa mengajarkan tenggang rasa, Bugis, Cina, Gorontalo dan Sumatera mengajarkan perdagangan dan Orang Mongondow mengajarkan bagaimana menjadi ruan rumah yang baik.
Tak pelak, di Dumoga kemudian diwariskan Budaya Mongondow yang tinggi, karena telah turun temurun hidup rukun sebagaimana Punu Mokodoludut hingga Loloda dan Dinasti Manopo menerapkannya. Warisan leluhur ini harus terus dipelihara dan tak boleh luntur hanya demi sebuah kepenringan, warisan ini harus diterjemahkan dalam kehidupan bahwa Dumoga merupakan sebuah situs sejarah social budaya leluhur.

bukti sejarah bolaang mongondow, kec. dumoga

Disimpan di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen


BUKU: Terbitan De Weefkunst mengulas kerajian kain tenun Doemoga.

Buku yang berisi informasi sekilas tentang keberadaan kerajinan kain Tenun di Doemoga, diperdagangkan ke Bentenan. Juga disertai ilustrasi gambar kain tenun Bentenan diulas dua halaman oleh Door JE Jasper dan Mas Pirngadie kendati belum jelas yang mana motifnya.




  Sumardi Arbani, 2 Maret 2013, periset di Environmental History





DUMOGA Raya sebagai tempat deklarasi Kerajaan Bolaang Mongondow telah diposting dalam Blog ini (www.bolteng.com), namun kaburnya sejarah masa lampau tentang Dumoga dikarenakan kurangnya referensi membuat pemaparan lengkap sejarah panjang Dumoga menjadi sumir.

Kita patut berterima kasih tentunya kepada Sumardi Arbani, periset asal Universitas Negeri Diponegoro (Undip) Semarang yang konsen di bidang Sejarah Lingkungan (Environmental History) ini. Kendati bukan berasal dari Bolaang Mongondow, namun Sumardi membuktikan bahwa Ilmuwan selalu jujur mengulas sejara, membuka tabir Bolaang Mongondow dan Doemoga tempoe doeloe melalui literatur yang diperolehnya di Negeri Raja Willem Alexander yang bertahta usai Ratu Baetrix ibunya. 

2 HALAMAN:  Tentang kain tenun Dumoga-Bolmong.
Di kalangan Orang Mongondow Utat Sumardi menjadi familiar karena kaya literaral yang kemudian mempublis informasi tersebut secara online. Sumardi menguak banyak fakta melalui pustaka yang tersimpan di Belanda dan negara lainnya, tentang keberadaan Bolaang Mongonow, tak terkecuali Dumoga tempoe doeloe yang ternyata syarat kekayaan budaya. 
Memoribilium kegagahan parah Bogani terrnyata tak cukup, Dumoga sebagaimana dilansir  Sumardi juga dikenal memiliki kerajinan berupa kain tenun yang diperdagangkan di Desa Bentenan yang saat ini masuk di wilayah Kecamatan Langowan, konon dulunya tempat perdagangan termashur.

Kendati Sumardi tak bisa mengklaim motif kain yang mana ditenun Dumoega, namun secara eksplisit tersirat dalam buku “De Inlanddsche Kunstnijverheidd in Nederlandsc Indie”, karangan Door JE Jasper dan Mas Pirngadie. Dari postingan Sumardi melalui Group Pustaka Bolmong di salah satu media jejaring sosial ini, menginspirasi catatan singkat ini dan semoga kiranya menambah hasana sejarah daerah hasil ruislag dengan Sangkub Kerajaan Bintauna kala itu.

Dalam buku ini menurut Sumardi berisi informasi sekilas tentang keberadaan kerajinan kain Tenun di Doemoga, yang diperdagangkan ke Bentenan; juga disertai ilustrasi gambar kain tenun yang diperdagangkan di Desa Bentenan. Disebutkan bahwa Pusaka Sultan Bolaang Mongondow disimpan di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. 
Berdasar keterangan waktu terjadi tahun 1800, dimana pusaka Sultan Bolaang Mongondow ini kemungkinan milik Raja Johanis Manuel Manoppo. Karena satu tahun sebelumnya, raja ini ditangkap Belanda dan dibuang ke Bagelen [Purworejo], Jawa Tengah. Tulisan berisi kerajinan kain tenun Doemoga dan Bolaang Mongondow dalam buku "De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlandsch Indië", Number 2, 1 January 1912, menurut Sumardi hanya terdapat ddalam dua halaman.
MOTIF: Salah satu ilustrasi kerajinan.






Setidaknya bukti pustaka milik Belanda ini, menjadi literatur yang perlu diterjemahkan dalam sosial budaya masa lampau dan kini, baik oleh generasi muda di Doemoga maupun para pegiat sejarah lokal maupun nasioanal. Catatan ini, belumlah sebuah informasi yang lengkap namun diharapkan menjadi titik awal untuk melacak keberadaan dan kekayaan Budaya Doemoga, bahkan semoga bisa dijadikan bukti bahwa Doemoga merupakan cagar budaya yang semestinya mendapat perhatian khusus dari pemerintah.

Doemoga semestinya segera dikarantina, sebagai sebuah situs sejarah agar tak terlanjur rusak akibat dijamah apalagi sengaja untuk dikaburkan dari sejarah kebudayaan oleh tangan-tangan manusia yang tak bertanggungjawab. Untuk mengingatkan kita lagi dalam sebuah catatan dalam Blog ini berjudul; “Petaka di Gunung Kramat Bumbungon” di posting 6 Juni 2012, merupakan mpesan miris bagi siapapun yang berdarah mongondow atau lahir, makan, minum dan dibesarkan di Bolmong.
Kita semua tentu akan lirih kala melewati jejak para Bogani yang kini telah dijamah tangan-tangan tak bertanggungjawab, Gunung Keramat Bumbungon yang terletak di antara Desa Siniung Satu dan Transmat kini sangat memprihatinkan, telah dirambah untuk perkebunan masyarakat sekitar dan nyaris gundul sampai puncak. Lalu kita semua seakan tak berdaya bahkan boleh dikata apatis, tak peduli lagi dengan situs yang diwariskan para pendiri Negeri para Punu dan Datu ini.

Kerusakan gunung karamat Bumbungon bukan kepalang, dan suda seharusnya mendapat perhatian khusus Pemkab Bolmong, untuk menjadikannya berdaya dan bermakna sebagai situs sejarah. Sudah saatnya warga Dumoga Raya meminta Pemerintah untuk memberikan payung hukum sebagai sebuah kawasan yang harus bebas dari perambahan dengan alas an apapun (baik pemukiman maupun perkebunan).
Langkah pertama yang harus dilakukan Pemkab Bolmong tak lain, segera menjadikan cagar budaya sebagai situs sejara tempat dideklarasikannya kerajaan Bolaang Mongondow. Tak hanya itu, masih banyak situs sejarah seperti goa batu berkamar di Desa Toraut Induk, dan situs lainnya yang butuh perhatian pemerintah. Situs ini harus segerah diselamatkan, sehingga wajib hukumnya untuk disentuh pemerintah, bukan sekedar sebagai kawasan wisata dan sejara, melainkan sebagai bukti bahwa kita berdab, dan telah diwariskan budaya yang mestinya dilestarikan.(***)

Sejarah Singkat Bolaang Mongondow Tengah


TAK bisa dipungkiri, cikal bakal kerajaan Bolaang Mongondow terinisiasi dari Dumoga, setelah berimigran dari Bintauna, menembus hutan belantara (saat ini Taman Nasional Bogani nani Wartabone), hingga melahirkan Kampung tua di Desa Doloduo (saat ini Desa Toraut), hingga ke Dumoga, Pusian dan dideklarasikan di Gunung Keramat Bumbungon oleh para Bogani dengan Mokodoludut.

Penduduk asli Bolaang Mongondow Tengah (Bolteng) berasal dari keturunan Gumalangit dan Tendeduata serta Tumotoibokol dan Tumotoibokat, awalnya mereka tinggal di gunung Komasaan (Bintauna). Kemudian
menyebar ke timur di tudu in Lombagin, Buntalo, Pondoli', Ginolantungan sampai ke pedalaman tudu in Passi, tudu in Lolayan, tudu in Sia', tudu in Bumbungon, Mahag, Siniow dan lain-lain. Peristiwa perpindahan ini terjadi sekitar abad 8 dan 9.

Nama Bolaang berasal dari kata "bolango" atau "balangon" yang berarti laut. Bolaang atau golaang dapat pula berarti menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap, sedangkan Mongondow dari kata ‘momondow’ yang berarti berseru tanda kemenangan.

sebelumnya para Bogani ini berimigran dari bintauna, melalui pantai selatan dan ada juga menembus hutan, tembus di Kampung Tua Desa Doloduo (saat ini Desa Toraut) kemudian untuk membentuk satu kerajaan melalui seorang pemimpin bernama Mokodoludut, para Bogani berkumpul di Gunung Keramat Bumbungon, di sini kemudian kerjaan Bolaang Mongondow terus berjalan menuju Desa Bolaang terletak di tepi pantai utara yang pada abad 17 sampai akhir abad 19 menjadi tempat kedudukan istana raja, sedangkan desa Mongondow terletak sekitar 2 km selatan Kotamobagu.

Daerah pedalaman sering disebut dengan ‘rata Mongondow’. Dengan bersatunya seluruh kelompok masyarakat yang tersebar, baik yang yang berdiam di pesisir pantai maupun yang berada di pedalaman Mongondow di bawah pemerintahan Raja Tadohe, maka daerah ini dinamakan Bolaang Mongondow.

Setiap kelompok keluarga dari satu keturunan dipimpin oleh seorang Bogani (laki-laki atau perempuan) yang dipilih dari anggota kelompok dengan persyaratan : memiliki kemampuan fisik (kuat), berani, bijaksana, cerdas, serta mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan kelompok dan keselamatan dari gangguan musuh.

Mokodoludut adalah punu’ Molantud yang diangkat berdasarkan kesepakatan seluruh bogani. Mokodoludut tercatat sebagai raja (datu yang pertama). Sejak Tompunu’on pertama sampai ketujuh, keadaan masyarakat semakin maju dengan adanya pengaruh luar (bangsa asing). Perubahan total mulai terlihat sejak Tadohe menjadi Tompunu’on, akibat pengaruh pedagang Belanda dirubah istilah Tompunu’on menjadi Datu (Raja).

Tadohe dikenal seorang Datu yang cakap, sistem bercocok tanam diatur dengan mulai dikenalnya padi, jagung dan kelapa yang dibawa bangsa Spanyol pada masa pemerintahan Mokoagow (ayah Tadohe). Tadohe melakukan penggolongan dalam masyarakat, yaitu pemerintahan (Kinalang) dan rakyat (Paloko’). Paloko’ harus patuh dan menunjang tugas Kinalang, sedangkan Kinalang mengangkat tingkat penghidupan Paloko’ melalui pembangunan disegala bidang, sedangkan kepala desa dipilih oleh rakyat.

Tadohe berhasil mempersatukan seluruh rakyat yang hidup berkelompok dengan boganinya masing-masing, dan dibentuk sistem pemerintahan baru. Seluruh kelompok keluarga dari Bolaang, Mongondow (Passi dan Lolayan), Kotabunan, Dumoga, disatukan menjadi Bolaang Mongondow. Di masa ini mulai dikenal mata uang real, doit, sebagai alat perdagangan.

 Pada zaman pemerintahan raja Corenelius Manoppo, raja ke-16 (1832), agama Islam masuk daerah Bolaang Mongondow melalui Gorontalo yang dibawa oleh Syarif Aloewi yang kawin dengan putri raja tahun 1866. Karena keluarga raja memeluk agama Islam, maka agama itu dianggap sebagai agama raja, sehingga sebagian besar penduduk memeluk agama Islam dan turut mempengaruhi perkembangan kebudayaan dalam beberapa segi kehidupan masyarakat. Sekitar tahun 1867 seluruh penduduk Bolaang Mongondow sudah menjadi satu dalam bahasa, adat dan kebiasaan yang sama (menurut N.P Wilken dan J.A.Schwarz).

Pada tanggal 1 Januari 1901, Belanda dibawa pimpinan Controleur Anton Cornelius Veenhuizen bersama pasukannya secara paksa bahkan kekerasan berusaha masuk Bolaang Mongondow melalui Minahasa, setelah usaha mereka melalui laut tidak berhasil dan ini terjadi pada masa pemerintahan tahan Raja Riedel Manuel Manoppo dengan kedudukan istana raja di desa Bolaang. Raja Riedel Manuel Manoppo tidak mau menerima campur tangan pemerintahan oleh Belanda, maka Belanda melantik Datu Cornelis Manoppo menjadi raja dan mendirikan komalig (istana raja) di Kotobangon pada tahun 1901. 

Pada tahun 1904, dilakukan perhitungan penduduk Bolaang Mongondow dan berjumlah 41.417 jiwa. Pada tahun 1906, melalui kerja sama dan kesepakatan dengan raja Bolaang Mongondow, W.Dunnebier mengusahakan pembukaan Sekolah Rakyat dengan tiga kelas yang dikelola oleh zending di beberapa desa; yakni : desa Nanasi, Nonapan, Mariri Lama, Kotobangon, Moyag, Pontodon, Pasi, Popo Mongondow, Otam, Motoboi Besar, Kopandakan, Poyowa Kecil dan Pobundayan dengan total murid sebanyak 1.605 orang, sedangkan pengajarnya didatangkan dari Minahasa.

Pada tahun 1937 dibuka di Kotamobagu sebuah sekolah Gubernemen, yaitu Vervolg School (sekolah sambungan) kelas 4 dan 5 yang menampung lepasan sekolah rakyat 3 tahun. Ibukota Bolaang Mongondow sebelumnya terletak disalah satu tempat di kaki gunung Sia’ dekat Popo Mongondow dengan nama Kotabaru. Karena tempat itu kurang strategis sebagai tempat kedudukan controleur, maka diusahakan pemindahan ke Kotamobagu dan peresmiannya diadakan pada bulan April 1911 oleh Controleur F. Junius yang bertugas tahun 1910-1915.

Pada tahun 1911 didirikan sebuah rumah sakit di ibukota yang baru Kotamobagu. Rakyat mulai mengenal pengobatan modern, namun ada juga yang masih mempertahankan dan melestarikan pengobatan tradisional melalui tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat dan sampai sekarang dibudayakan secara konvensional.

Sejak semula, masyarakat Bolaang Mongondow mengenal tiga macam cara kehidupan bergotong royong yang masih terpelihara dan dilestarikan terus sampai sekarang ini, yaitu : Pogogutat (potolu adi’), Tonggolipu’, Posad (mokidulu). Tujuan kehidupan bergotong royong ini sama, namun cara pelaksanaaannya agak berbeda.

Penduduk pedalaman yang memerlukan garam atau hasil hutan, akan meninggalkan desanya masuk hutan mencari damar atau ke pesisir pantai memasak garam (modapug) dan mencari ikan. Dalam mencari rezeki itu, sering mereka tinggal agak lama di pesisir, maka disamping masak garam mereka juga membuka kebun. Tanah yang mereka tempati itulah yang disebut Totabuan yang dapat diartikan sebagai tempat mencari nafkah.

Bila ada tamu yang bertandang pada masa kerajaan, biasanya disuguhi sirih pinang, tamu pria atau wanita terutama orang tua. Sirih pinang diletakkan dalam kabela' (dari kebiasaan ini diciptakan tari kabela sebagai tari penjemput tamu). Tamu terhormat terutama pejabat di jemput dengan upacara adat. Tarian Kabela sampai saat ini tetap lestari di bumi Totabuan.

Tarian yang ada di Bolaang Mongondow cukup beragam diantaranya tarian tradisional yang terdiri dari Tari Tayo, Tari Joke', Tari Mosau, Tari Rongko atau Tari Ragai, Tari Tuitan; juga tarian kreasi baru seperti Tari Kabela, Tari Kalibombang, Tari Pomamaan, Tari Monugal, Tari Mokoyut, Tari Kikoyog dan Tari Mokosambe.Upacara monibi terakhir diadakan pada tahun 1939 di desa Kotobangon (tempat kedudukan istana raja) dan di desa Matali (tempat pemakaman raja dan keturunannya). 
 
Transmigrasi di Dumoga 

Transmigran ke Bolaang Mongondow pertama kali datang pada tahun 1963 dengan jumlah 1.549 jiwa (349 KK) & ditempatkan di Desa Werdhi Agung. Para transmigran berikutnya ditempatkan di desa Kembang Mertha (1964), Mopuya (1972/1975), Mopugad (1973/1975), Tumokang (1971/1972), Sangkub (1981/1982), Onggunai (1983/1984), Torosik (1983/1984) dan Pusian/Serasi (1992/1993).

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Bolaang Mongondow menjadi bagian wilayah Propinsi Sulawesi yang berpusat di Makassar, kemudian tahun 1953 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1953 Sulawesi Utara dijadikan sebagai daerah otonom tingkat I. Bolaang Mongondow dipisahkan menjadi daerah otonom tingkat II mulai tanggal 23 Maret 1954, sejak saat itu Bolaang mongondow resmi menjadi daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan PP No.24 Tahun 1954. Atas dasar itulah, mengapa setiap tanggal 23 Maret seluruh rakyat Bolaang Mongondow selalu merayakannya sebagai HUT Kabupaten Bolaang Mongondow.

Kamis, 01 Januari 2015

KONSEP KETUHANAN SYAIKH SITI JENAR

I. PENDAHULUAN
Oleh:
Saifudin hasan

A. Latar Belakang 
Islam masuk di Indonesia tidak hanya melalui jalur perdagangan yang datang dari Gujarat. Akan tetapi ajaran Islam masuk ke negeri ini juga melalui jalur yang lain yakni melalui perkawinan, pengungsian serta sebuah operasi rahasia yang dilakukan oleh para Ulama Sufi yang menjadi penyebar ajaran Islam di bumi nusantara (Sunyoto, 2002: 47).

Sama halnya dengan ajaran-ajaran agama lain yang masuk ke negeri ini, Islam masuk pun juga tidak pernah melalui jalur senjata. Sebab masyarakat nusantara ketika itu telah memiliki persepsi yang sama tentang konsep ketuhanan. Hal ini bisa dilihat dari ajaran Hindu maupun Budha yang terlebih dahulu masuk ke Indonesia. Dalam ajaran kedua agama tersebut, kata Tuhan pastinya selalu didefenisikan sebagai sesuatu yang tak bisa dibayang-bayangkan, tak bisa di angan-angankan dan tidak bisa terbahasakan (Sunyoto, 2002: 5).

Begitu juga dengan beberapa ajaran kuno atau lokal yang ada di negeri ini, kesemuanya merupakan ajaran-ajaran yang memiliki landasan ketauhidan yang mirip dengan Islam. Bahkan di beberapa daerah, biasa didapatkan ajaran-ajaran lokal yang memiliki ajaran yang sama persis dengan apa yang dimiliki oleh ajaran Islam itu sendiri.

Hal tersebut juga sangatlah dikuatkan dengan situasi ketika itu, proses Islamisasi yang terjadi di Indonesia, ketika tasawuf merupakan corak pemikiran yang dominan dalam dunia Islam. Bahkan tulisan-tulisan paling awal karya muslim Indonesia bernapaskan semangat tasawuf. Sehingga dengan tasawuf inilah juga, orang Indonesia kemudian berbondong-bondong memeluk Islam (Bruinessen, 1992: 15).

Salah satu dari tokoh awal yang menyebarkan ajaran tasawuf di kepulauan Nusantara ini adalah Syaikh Siti Jenar, yang terkenal dengan konsepnya yang kontroversial tentang persoalan hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, apa yang disebut umum sebagai kematian, justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi olehnya. Sebagai konsekuensinya, kehidupan manusia di dunia ini tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian, misalnya hukum negara, tetapi tidak termasuk hukum syariat peribadatan sebagaimana yang ditentukan oleh syariat agama Islam (Chodjim, 2004: 23).

Baginya, syariah baru akan berlaku setelah manusia menjalani kehidupan pasca kematian. Syaikh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang juga dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu, mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam, kira-kira pada abad ke-9 Masehi) tentang hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat Tuhan dan manusia (Chodjim, 2004: 29).

Menurut Ahmad Chodjim (2004: 25-26), pandangan Syaikh Siti Jenar sejatinya mengajarkan pemahaman ketauhidan itu semestinya melewati empat tahap, yaitu:

1. Syariat, yakni dengan menjalankan hukum-hukum agama seperti shalat, zakat, dan lain-lain.

2. Tarekat, yakni dengan melakukan amalan-amalan seperti wirid, zikir dalam waktu dan hitungan tertentu.

3. Hakekat, yakni dimana hakikat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan.

4. Makrifat, yakni kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya.

Artinya bahwa bukan berarti setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut, maka tahapan di bawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ajaran ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syaikh Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami ratusan tahun setelah wafatnya Syaikh Siti Jenar. Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada masyarakat awam dimana pada masa itu, ajaran Islam yang harus disampaikan seharusnya masih pada tingkatan syariat, sedangkan ajaran Syaikh Siti Jenar sangatlah filosofis dan telah jauh memasuki tahap hakekat, bahkan makrifat kepada Allah. Oleh karena itu, ajaran yang disampaikan oleh Syaikh Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan label sesat ketika masa itu oleh para Wali Songo.

Selain itu, Syaikh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas, sebagaimana juga pandangan ini diungkapkan oleh Rabiyah al-Adawiyah. Bahkan dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat (utamanya para penganut tarekat Akmaliyah) bahwa Syaikh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Arti dari Manunggaling Kawula lan Gusti dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya (Sunyoto, 2011: 178-179 dan Kandito, 2012: 105).

Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai dengan Firman Allah dalam surah Shaad ayat 71-72 yang menerangkan tentang penciptaan manusia, yang artinya adalah: “ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: ‘sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah kusempurnakan kejadiannya dan kutiupkan kepadanya ruh-Ku, maka hendaklah kalian terseungkur dengan bersujud kepadanya’”.

Dengan demikian, ruh manusia menyatu dengan ruh Tuhan ketika penyembahan terhadap Tuhan itu terjadi. Yang menjadi persoalan kemudian adalah timbulnya perbedaan penafsiran terhadap ayat tersebut di kalangan pengikut Syaikh Siti Jenar, yang kemudian menimbulkan polemik tentang ajarannya tentang paham tersebut.

Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an tersebut dari para murid Syaikh Siti Jenar inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham Manunggaling Kawula Gusti.


B. Alasan Memilih Tema dan Rumusan Masalah


Dalam karya James Peacock Purifying The Faith (1979), ia menyatakan bahwa Islam yang datang ke Jawa adalah Islam sufi yang dengan mudah diterima serta diserap ke dalam sinkretisme Jawa. Keberadaan Suluk Wujil, Primbon Bonang, Suluk Linglung, Suluk Sukarsa, Suluk Sujinah, Suluk Syaikh Malaya, Suluk Pustaka Rancang, Serat Dewa Ruci, dan Serat Cabolek, menunjukkan bukti bahwa perkembangan Islam di Jawa, khususnya di era Wali Songo, lebih didominasi oleh paham kesufian. Fleksibelitas dari ajaran sufisme inilah yang terlihat jejaknya pada proses dakwah Islam di Nusantara lewat jalur asimilatif dalam kehidupan budaya, sosial, religi, seni, sastra, pendidikan, dan adat kebiasaan.


Selain itu, sejatinya jalan kesufian atau sufisme ini, dalam rangka memperkenalkan Tuhan di kalangan masyarakat Jawa yang memiliki tradisi mistik yang kuat ketika fase ajaran Hindu dan Buddha, sangatlah tepat. Sebagaimana yang dikatakan Arkoun dalam Kuswanjono (2006: 6) bahwa jalan yang dapat ditempuh untuk mengenal Tuhan (dengan mudah) adalah jalan tasawuf (mistik). Jalan tasawuf (mistik) ini bukan hanya dimiliki oleh Islam saja, tetapi dimiliki pula oleh semua agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Dimana tujuan akhir darinya adalah pengalaman yang hidup tentang pertemuan internal dan dan menyatukan orang yang beriman dengan Tuhan yang pribadi.


Kemudian, sejauh yang dapat penulis telusuri tentang aliran-aliran sufisme atau tasawuf yang paling awal masuk ke Nusantara, aliran yang tasawuf yang berkembang paling awal adalah tarekat Akmaliyah dan tarekat Syathariyah yang kemudian disusul tarekat Kubrawiyah, Haqmaliyah, Samaniyah, Rifa’iyah, Khalwatiyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan lainnya. Diantara tokoh penyebar Islam awal tersebut, utamanya dalam jamaah Wali Songo, yang secara terbuka mengajarkan tarekat adalah Syaikh Datuk Abdul Jalil yang dikenal dan masyhur dengan sebutan Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang, yang ajaran tentang paham ketuhanannya di pulau Jawa terkenal dengan Manunggaling Kawula lan Gusti.


Jika memperhatikan dengan seksama apa yang disebutkan oleh Khan Sahib Khaja Khan (1987), dimana dalam kalangan sufisme terdapat dua paham pemikiran yang besar yang dianut oleh para pelaku tarekat-tarekat sufi. Paham pertama adalah paham wujudiyah yang mengajarkan doktrin bahwa manusia (alam) berasal dari pengetahuan ilahi dan akan mendapat pengalaman dari dunia untuk kemudian menuju ‘Ain-Nya. Segala sesuatu ada di dalam kandungan Tuhan. Paham ini kemudian dikenal dengan sebutan wahdatul wujud, yang oleh kebanyakan pengamat barat secara keliru disamakan dengan pantheisme. Tokoh dari paham ini yang terkenal diantaranya adalah Husein bin Mansyur al-Hallaj, Abu Yazid al-Busthami, Syihabuddin al-Suhrawardi, dan Muhyiddin Ibnu Arabi. Kemudian paham yang kedua selain paham wujudiyah adalah paham syuhudiyah yang mempercayai doktrin adanya dua Dzat. Yang pertama adalah Yang Nyata (reality) dan yang kedua adalah Yang Tidak Nyata (non-reality). Yang pertama adalah Tuhan dan yang kedua adalah Hamba. Pada Tuhan terkandung terkandung sifat ada (wujud) dan pada hamba terkandung sifat tidak ada (‘adam), dan ‘adam sperti itu adalah hubungan (idhafi) namun bukan yang hakiki. Dzat Tuhan dan Dzat hamba adalah dua bukan satu, dan ketidaksempurnaan hanyalah melekat pada yang ‘adam. Bagaimanapun hubungan yang terjadi antara Tuhan dengan hamba berlangsung tidak akan mungkin terjadi persatuan. Diantara tokoh yang terkenal dari paham ini adalah Abu Hamid al-Ghazali.


Kemudian di Nusantara sendiri, jika melihat perkembangan awal dari sufisme di wilayah ini khususnya di pulau Jawa, maka akan ditemui bahwa paham yang berkembang lebih awal di Nusantara, sebagaimana yang dikatakan oleh Sunyoto (2011: 235), adalah paham wujudiyah. Salah satu tokoh awal dan terkenal yang menjadi penyebar paham tersebut utamanya di era Wali Songo adalah Syaikh Datuk Abdul Jalil yang masyhur disebut dengan Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang, yang akan penulis analisa secara lebih mendalam tentang paham ketuhanan yang dimilikinya.


Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan makalah ini guna mendapatkan hasil yang signifikan dan tersistimatis adalah:


1. Bagaimana riwayat perjalanan hidup dari Syaikh Siti Jenar?


2. Bagaimana bentuk paham ketuhanan yang dimiliki oleh Syaikh Siti Jenar?










II. PEMBAHASAN


A. Riwayat Singkat Syekh Siti Jenar


Sebagaimana kisah hidupnya yang diliputi kisah-kisah kontroversial, asal usul tokoh yang bernama asli Syaikh Datuk Abdul Jalil yang masyhur dikenal dengan nama Syaikh Lemah Abang, Syaikh Jabarantas, Syaikh Sitibrit, Pangeran Kajenar, atau yang termasyhur sebagai Syaikh Siti Jenar ini memang tergolong kontroversial dan aneh. Menurut Babad Demak dan Babad Tanah Jawi sebagaimana yang dikutip oleh agus Sunyoto (2011: 172), bahwa asal-usul Syaikh Lemah Abang adalah seekor cacing yang berubah menjadi manusia setelah mendengar wejangan rahasia Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga diatas perahu ditengah laut. Sedangkan menurut D.A Rinkes (1996: 27) yang mengutip naskah tulisan tangan milik Raden Ngabehi Soeradipoera, mengatakan bahwa Syaikh Lemah Abang sejatinya adalah Abdul Jalil putera dari Sunan Gunung Jati.


Kemudian, menurut Serat Walisana, Syaikh Lemah Abang sejatinya adalah seorang tukang sihir bernama San Ali Anshar, yang tidak diterima berguru kepada Sunan Giri, namun tetap berusaha memperoleh ilmu rahasia dari Sunan Giri. Semnetara itu, menurut cerita lisan yang kebenarannya diyakini oleh para penganut tarekat Akmaliyah, tokoh Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti Jenar adalah putera Ratu Cirebon yang ditugasi menyiarkan agama Islam di seluruh tanah Jawa dengan membuka pedukuhan-pedukuhan yang dinamai Lemah Abang, yang tersebar dari wilayah Banten di barat sampai Banyuwangi di timur (Sunyoto, 2011: 172).


Menurut naskah Wangsakertan Cirebon yang berjudul Negara Kretabhumi Sargha III pupuh 76 yang dikutip oleh Agus Sunyoto (2011: 172), tokoh yang bernama Syaikh Lemah Abang itu lahir di Malaka dengan nama Abdul Jalil. Ia putera Syaikh Datuk Shaleh. Naskah Wangsakertan lain yang berjudul pustaka rajya-rajya i bumi nusantara jilid V: II-2 menyebutkan bahwa silsilah Syaikh Lemah Abang yang bernama pribadi Syaikh Datuk Abdul Jalil itu berujung pada nabi Muhammad saw, turun melalui Fatimah dan Ali bin Abi Thalib, turun ke Husein, terus ke Ali Zainal Abidin, turun ke Jakfar Shadiq, hingga ke Maulana Abdul Malik yang tinggal di Bharata Nagari. Maulana Abdul Malik dari Bharata Nagari ini menurunkan Al-Amir Abdullah Khannuddin, menurunkan Al-Amir Ahmadsyah Jalaluddin yang dikenal juga dengan nama Syaikh Kadir Kaelani. Al-Amir Ahmadsyah Jalaluddin atau Syaikh Ahmad Kaelani ini menurunkan Maulana Isa alias Syaikh Datuk Isa yang tinggal di Malaka Nagari. Syaikh Datuk Isa dikisahkan memiliki putera Syaikh Datuk Ahmad dan Syaikh Datuk Shaleh. Syaikh Datuk Ahmad berputera Syaikh Datuk Bayan dan Syaikh Datuk Kahfi. Sedangkan Syaikh Datuk Shaleh berputera Syaikh Datuk Abdul Jalil yang kelak termasyhur dengan nama Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti Jenar. Demikianlah, Syaikh Datuk Abdul Jalil alias Syaikh Lemah Abang adalah saudara sepupu dari Syaikh Datuk Kahfi, pengasuh pesantren Giri Amparan Jati dan guru dari penguasa Cirebon, Pangeran Cakrabuana alias Sri Mangana (Sunyoto, 2011: 173).


Sewaktu memasuki usia dewasa, ia pergi menuntut ilmu di Persia dan tinggal di Baghdad selama kurang lebih 17 tahun. Ia berguru kepada seorang Mullah Syiah Munthadar (Syiah Imamiyah) dan menguasai berbagai jenis ilmu pengetahuan agama (Sunyoto, 2011: 173 dan Kandito, 2012: 45-46). Menurut cerita tutur dikalangan penganut tareka Akmaliyah, orang Syiah Munthadar tersebut bernama Abdul Malik Al Baghdadi dan kelak menjadi mertua Syaikh Lemah Abang. Rupanya selama menuntut ilmu di Baghdad, Syaikh Abdul Jalil lebih berminat mendalami ilmu tasawuf sehingga ia sangat mendalam penguasannya dalam ilmu tersebut. Bahkan karena ketertarikannya terhadap ilmu tersebut, ia berguru kepada Syaikh Ahmad yang menganut aliran tarekat Akmaliyah yang jalur silsilahnya sampai kepada Abu Bakar As-Shiddiq ra (Sunyoto, 2011: 173).


Selain itu, menurut Sunyoto (2011: 174), bahwa Syaikh Lemah Abang juga menjadi penganut aliran tarekat Syathariyyah yang diperoleh dari saudara sepupunya yang juga menjadi guru ruhaninya, yakni Syaikh Datuk Kahfi yang merupakan guru dari penguasa Cirebon atau Caruban Larang, Sri Mangana, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.


Sehingga kemudian, melalui pergumulannya di Baghdad tersebutlah dalam berbagai disiplin ilmu, menjadikan segala sesuatu yang dikeluarkannya (paham yang dimilikinya), cenderung berbeda dari segala bentuk ajaran agama Islam yang lazim pada zaman tersebut. Sebab, menurut penulis, ajaran Islam yang ada di Nusantara kala itu, utamanya yang dianut oleh kalangan istana, lebih cenderung ke arah Islam syariat belaka. sehingga ajaran dari Syaikh Siti Jenar ini dari luarnya sedikit berbeda dengan apa yang diajarkan oleh para wali, sebab Syekh Siti Jenar mencoba memformulasikan ajaran tasawuf dengan filsafat hidup yang menjadikan ajarannya agak berbeda dengan kelaziman yang ada pada waktu itu. Bahkan sangat dimungkinkan pemikiran yang ada tersebut sudah ada pada dirinya ketika dia belajar di Baghdad yang diketahui pada masa itu (abad ke-16) merupakan pusat peradaban ilmu pengetahuan, sebagaimana juga yang dikatakan oleh Argawi Kandito dalam bukunya Pengakuan-Pengakuan Syaikh Siti Jenar (2012).



B. Paham Ketuhanan Syaikh Siti Jenar



Menurut Argawi Kandito (2012: 69-70), Tuhan dalam pemahaman Syeikh Siti Jenar tidak akan bisa didefenisikan dengan sempurna, karena pemahaman manusia maupun bahasa yang digunakan oleh manusia tidak akan mampu mengungkap esensi tuhan. Namun secara garis besar, dalam pandangan Syekh Siti Jenar, bahwa Tuhan adalah Dzat yang melingkupi alam materi dan alam jiwa sekaligus. Sehingga wujud Tuhan tidak mampu diindera oleh manusia dan makhluk lain yang diciptakan olehNya. Indera manusia hanya bisa digunakan untuk mengindera hal-hal yang berwujud materi saja, yang sangat terbatas jumlahnya. Dzat Tuhan yang juga melingkupi alam jiwa dan alam esensi tak akan mampu diserap oleh indera. Maka dengan demikian, pemaknaan tentang Tuhan tidak akan mampu menunjukkan kesejatian Tuhan. Oleh karena itu, sangat wajar bila orang-orang yang gemar melakukan perjalanan spritual untuk mencari esensi Tuhan, kemudian enggan untuk memaknai Tuhan itu sendiri. Sang Buddha Sidharta Gautama misalnya, adalah salah seorang yang melakukan praktek suluk (perjalanan spritual, orang yang mempraktekkannya disebut sebagai salik) yang enggan memaknai wujud Tuhan itu sendiri. Bahkan, para nabi, para wali dan para salik lainnya pun juga enggan untuk memaknai Tuhan. Kebanyakan dari mereka hanya menunjukkan indikasi adanya Tuhan berdasarkan sifat-sifat dan Kedudukan tuhan di atas makhluk-makhlukNya. Sehingga memang Tuhan itu sendiri tak dapat didefenisikan secara mendasar, sebab pemahaman maupun bahasa yang dugunakan oleh manusia tidak akan pernah mampu untuk mengungkapkan esensi dan kesejatian dari Tuhan itu sendiri.


Kemudian mengenai hubungan Tuhan dengan makhluk ciptaan-Nya, Kandito (2012: 70) menyatakan bahwa manusia dan makhluk lainnya dalam kacamata Syekh Siti Jenar adalah bagian dari Tuhan. Sepertinya, yang dimaksud sebagai bagian dari Tuhan ini adalah bahwa materi maupun jiwa yang dimiliki oleh manusia adalah sebagian kecil dari materi dan esensi Tuhan. Sebab dalam kitab ajaran agama Islam (Alquran) dikatakan bahwa Tuhan meniupkan sebagian ruh-Nya kepada manusia pertama (Adam), sehingga dapat dikatakan manusia adalah bagian dari Tuhan itu sendiri. Sehingga tidak salah jika materi dan jiwa pada alam ini disebut sebagai makhluk, sebab mereka adalah makhluk baru yang timbul dari keqadiman Tuhan.


Pandangan diatas, jika dilihat lebih lanjut lagi, akan sampai pada apa yang dikatakan oleh Agus Sunyoto (2011: 174-175) bahwa pandangan-pandangan yang dilontarkan oleh Syaikh Siti Jenar ini memang sangat berbeda dengan kelaziman karena disebabkan oleh pergumulan pencarian ilmu pengetahuannya yang dilakukan di Baghdad yang pada saat itu merupakan sentral dari peradaban Islam, dimana ilmu tasawuf sangat dominan dalam setiap kajian pengetahuan. Ditambah lagi dengan adanya pengaruh ilmu filsafat ke dalam ajaran tasawuf tersebut. sehingga faham ketuhanan yang dipegangi oleh Syekh Siti Jenar tersebut, yang sebelumnya diformulasikan antara ajaran tasawuf yang dipadukan dengan ilmu filsafat dan logika, menimbulkan ketidaklaziman dalam masyarakat umum atau awam. Karena ajaran yang semula rahasia tersebut yang didasarkan pada pengetahuan intuitif menjadi kian terbuka dengan pembahasan yang filosofis. Sebab baginya, pengetahuan makrifat (gnostik) yang bersifat supra-rasional tidak harus dijabarkan dengan sistem isyarat (kode) yang bersifat mistis dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akal sehat. Sebaliknya pengetahuan tersebut seharusnya dijelaskan secara rasional dan bisa diterima oleh akal.


Selain itu, pandangan-pandangan dari Syaikh Siti Jenar ini juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Ibnu Arabi dan Al-Hallaj. Dimana menurut Zoetmulder (1991) dan Sunyoto (2011) bahwa segala sesuatu yang diungkapkan oleh Syekh Siti Jenar kala itu jelas sangat dipengaruhi oleh kedua tokoh tersebut. Dimana keduanya juga terkenal dengan ajaran tasawuf yang menggunakan pendekatan ilmu filsafat dan logika. Sehingga ketika hal tersebut dibawa ke kalangan masyarakat umum atau awam, maka akan dengan serta merta menimbulkan sebuah kesalahpahaman yang kemudian menjadi titik balik dari ajarannya.


Bahkan Sunyoto lebih memperincinya lagi dalam tulisannya tersebut bahwa Syaikh Siti Jenar adalah seorang penganut tarekat Akmaliyah dan tarekat Syathariyyah. Dari tarekat Akmaliyah itulah Syaikh Siti Jenar mengungkapkan ajarannya mengenai pandangannya tentang Tuhan. Sebab pada masa silam, tarekat Akmaliyah ini jiga dianut dan diamalkan oleh kedua tokoh sufi yang disebutkan sebelumnya, yakni Al-Hallaj dan Ibnu Arabi (Sunyoto, 2011: 175). Sedangkan dalam tarekat Syathariyaah sendiri, dalam ajarannya tentang ketuhanan, hampir sama dengan paham wahdatul wujud. Dimana Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu immanen dengan alam, namun lebih menekankan pada transendennya Tuhan dengan alam (Masyhuri, 2011: 291).


Sebagaimana ajaran Al-Hallaj tentang hulul, sepertinya Syaikh Siti Jenar juga mengajarkan bahwa penciptaan alam semesta ini tidak lain dikarenakan Allah ingin menyaksikan diri-Nya di luar diri-Nya sebagaimana bunyi dari hadits qudsi berikut, yang artinya: ‘Aku adalah perbendaharaan harta yang tersembunyi, lalu Aku ingin dikenal maka Aku menciptakan makhluk’ (Zahri, 1979: 223).


Hal tersebut dapat dilihat dari apa yang diutarakan oleh Sunyoto (2011: 175), bahwa karena semua yang ada adalah Dzat Allah semata dalam pandangan Syekh Siti Jenar, maka saat Allah menciptakan alam semesta, tidaklah dengan Dzat lain melainkan dengan Dzat-Nya sendiri (atau dengan kata lain terjadi proses emanasi di dalamnya, sebgaimana teori Al Farabi dan juga Ibnu Arabi tentnag emanasi ini). Dimana lewat ciptaan-Nya ini, Allah kemudian menyaksikan diri-Nya sendiri. Dengan pandnagan yang demikian, sebagaimana juga Ibnu Araby, Syaikh Siti Jenar sepertinya meyakini bahwa di dalam semua ciptaan Tuhan (khalq), tersembunyi anasir sang pencipta (Haq). Dimana dalam hal ini khalq disebut sebagai yang dzahir dan Haq disebut yang bathin. Sehingga, khalq adalah wujud yang tergantung pada wujud Tuhan yang mutlak. Tanpa wujud yang mutlak dari Tuhan, tidak akan ada khalq yang maujud. Artinya bahwa yang memiliki wujud yang hakiki dalam pandangan Syaikh Siti Jenar ini adalah Tuhan, sedanagkan khalq (ciptaan) hanyalah merupakan bayangan maya dari tuhan itu sendiri.


Ajaran Syaikh Siti Jenar ini, yang di pulau Jawa dikenal dengan sebutan manunggaling kawula lan gusti sebagaimana yang disebutkan oleh Zoetmulder (1991) dan Agus Sunyoto (2011), sejatinya menanamkan suatu pemahaman ketuhanan yang dapat dikatakan sebagai ajaran yang menyatakan bahwa semua makhluk di dunia ini pada hakikatnya sama di hadapan Tuhan, baik dia seorang raja, wali, atau fakir miskin. Karena mereka semua adalah hijab dari Tuhan. Itulah sebabnya, meskipun manusia berkedudukan sebgaai raja atau pejabat lainnya, jika tidak mengetahui hakikat sejati dari kehidupan, maka mereka akan jatuh ke dalam kekosongan ukhrawiah. Sebaliknya, meski orang tersebut di hadapan manusia yang lain adalah hina papa, semisal pemulung atau para pengemis, jika mereka telah waskita dan memiliki pemahaman yang utuh tentang hakikat kehidupan yang sejati, dimana telah memahami betul makna ketunggalan dari khalq (ciptaan) dan Haq (pencipta) tadi, maka mereka akan memperoleh kehidupan yang abadi.


Hal tersebut juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Ahmad Chodjim (2004: 22-23), bahwa manusia yang hidup di dunia ini bersifat mayit atau mati, sehingga kehidupan yang ada sekarang ini bukanlah kehidupan sejati karena masih dihinggapi oleh kematian. Hidup sejati adalah tak tersentuh oleh kematian dalam pandangan Syaikh Siti Jenar. Menurutnya lagi, sebagaimana apa yang dimaksudkan oleh Syaikh Siti Jenar tentang ajarannya tentang Tuhan, Tuhan tidak butuh tempat tinggal, taman-Nya merupakan tempat kembali hamba-hamba-Nya. Namun Dia tidak ada di dalam ataupun di luar taman-Nya. Sebab hamba menyatu dengan Tuhan, hidup seorang hamba tidak pernah terpisah dari Tuhan. Sehingga diri pribadi yang sejatinya ada adalah jika hamba tersebut betul-betul hidup (Chodjim, 2004: 33).













III. PENUTUP


Kesimpulan


Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan dalam makalah ini, antara lain adalah:


1. Tokoh Syaikh Siti Jenar ini merupakan salah satu tokoh Islam awal yang sangat kontroversial sampai saat ini, sehingga sangat sulit untuk dilakukan klaim tentang seperti apa gambaran perjalanan hidup darinya. Namun penulis sendiri meyakini bahwa tokoh yang satu ini, dibalik segala kontroversial dari dirinya, adalah seorang tokoh yang nyata dan bukan tokoh yang direkayasa seperti anggapan sebagian orang. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya silsilah nasab yang jelas darinya, terutama dalam naskah-naskah yang berasal dari Cirebon dan juga beberapa pengakuan dari para penganut tarekat Akmaliyah. Selain itu dapat dikatakan disini bahwa menurut hemat penulis, silsilal nasab yang tepat untuk dijadikan sebagai rujukan adalah yang berasal dari Cirebon tersebut seperti naskah Wangsakertan Cirebon yang sedikit memiliki penjelasan yang rasional dibanding beberapa naskah lain yang sepertinya tidak masuk akal. Selain itu, ada indikasi naskah-naskah yang ada tersebut sangat mungkin telah dipolitisasi oleh pihak keraton pada saat itu sebagai upaya mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan dan dinastinya.


2. Adapun konsep ketuhanan yang dimiliki oleh Syaikh Siti Jenar adalah apa yang masyhur di pulau Jawa dengan sebutan Manunggaling Kawula lan Gusti, yang dalam pemahaman penulis hampir sama dengan ajaran dari paham wahdatul wujud. Dimana Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu immanen dengan alam (manusia). Selain itu, ajarannya tentang ketuhanan ini merupakan salah satu dari bentuk paham wujudiyah yang mengajarkan doktrin bahwa manusia (alam) berasal dari pengetahuan ilahi dan akan mendapat pengalaman dari dunia untuk kemudian menuju ‘Ain-Nya. Segala sesuatu ada di dunia ini adalah di dalam kandungan Tuhan itu sendiri. Sehingga dapat dikatakan kemudian bahwa dalam pandangan Syekh Siti Jenar segala sesuatu yang ada adalah hanya Dzat Allah semata. Dimana saat Allah menciptakan alam semesta, tidaklah dengan Dzat lain melainkan dengan Dzat-Nya sendiri (dengan kata lain terjadi proses emanasi di dalamnya). sehingga lewat ciptaan-Nya ini, Allah kemudian menyaksikan diri-Nya sendiri. Dengan pandangan yang demikian, Syaikh Siti Jenar sepertinya meyakini bahwa di dalam semua ciptaan Tuhan (khalq), tersembunyi anasir sang pencipta (Haq). Dimana dalam hal ini khalq disebut sebagai yang dzahir dan Haq disebut yang bathin. Sehingga, khalq adalah wujud yang tergantung pada wujud Tuhan yang mutlak. Tanpa wujud yang mutlak dari Tuhan, tidak akan ada khalq yang maujud. Artinya bahwa yang memiliki wujud yang hakiki dalam pandangan Syaikh Siti Jenar ini adalah Tuhan, sedangkan khalq (ciptaan) hanyalah merupakan bayangan maya dari tuhan itu sendiri.












DAFTAR PUSTAKA






Bruinessen, Martin van, 1992, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Mizan, Bandung.


Chodjim, Ahmad, 2004, Syekh Siti Jenar: Makna Kematian, Serambi, Jakarta.


Departemen Agama RI, 2004, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta.


Kandito, Argawi, 2012, Pengakuan-pengakuan Syaikh Siti Jenar, Pustaka Pesantren, Yogyakarta.


Khan, Khan Sahib Khaja, 1987, Cakrawala Tasawuf, Rajawali Press, Jakarta.


Kuswanjono, Arqom, 2006, Ketuhanan dalam Telaah Filsafat Perenial: Refleksi Pluralisme Agama di Indonesia, Badan Penerbitan Filsafat UGM, Yogyakarta.


Masyhuri, Aziz, 2011, Ensiklopedia 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf, Imtiyaz, Surabaya.


Peacock, James L., 1979, Purifying The Faith, University of California Press, California.


Rinkes, D.A, 1996, Nine Saint of Java, Malaysian Sociological Research Institute, Kuala Lumpur.


Sunyoto, Agus, 2002, Suluk Abdul Jalil, buku I, LKiS, Yogyakarta.


__________, 2011, Wali Songo:Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan, Transpustaka, Tangerang.


Zahri, Mustafa, 1979, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, Bina Ilmu, Surabaya.


Zoetmulder, P. J, 1991, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa; Suatu Studi Filsafat, Gramedia, Jakarta.